Pendidikan Agama Islam Part 5



Soal :
1. Politik yang benar menurut agama Islam, yang bagaimana ?

2. Bagaimana kontribusi agama Islam dalam kehidupan politik yang ada di negara RI ini ?

3. Mengapa filsafat juga dipelajari dalam Islam ?
Jawab :
1.      Sebagaimana Allah SWT. telah memerintah berdakwah kepada Islam, amar ma'ruf dan nahi munkar serta mengoreksi para penguasa, maka Allah juga memerintah mereka untuk mendirikan partai politik di antara mereka, yang berdiri sebagai sebuah kelompok dakwah yang menyeru kepada kebaikan atau kepada Islam, amar ma'ruf dan nahi munkar serta mengoreksi penguasa. Allah SWT. berfirman:

"Hendaknya ada di antara kalian sekelompok umat yang menyeru pada kebaikan, serta mengajak pada kema'rufan dan mencegah dari kemunkaran." (Quran Surat Ali Imran: 104)

Artinya, wahai kaum muslimin, hendaknya kalian membentuk sebuah jama'ah di antara kalian, yang memiliki kriteria sebagai sebuah jama'ah, yang melakukan dua tugas yaitu tugas menyeru kepada Islam dan tugas mengajak pada kema'rufan serta mencegah dari kemunkaran.
Perintah untuk mendirikan jama'ah itu merupakan perintah yang tegas. Sebab, tugas yang dijelaskan oleh ayat di atas, agar dilaksanakan oleh jama'ah itu adalah fardhu, yang harus dilaksanakan oleh seluruh kaum muslimin, sebagaimana yang telah dinyatakan di dalam banyak ayat dan hadits. Dengan demikian, perintah yang tertuang di dalam ayat tersebut bermakna wajib, yaitu fardhu kifayah bagi seluruh kaum muslimin. Yang apabila tugas tersebut telah dilaksanakan oleh sebagian orang hingga tuntas, maka yang lain telah gugur kewajibannya untuk melaksanakan tugas tersebut. Perintah ini bukan merupakan fardhu ain (yang berlaku bagi masing-masing individu muslim). Karena Allah meminta kepada kaum muslimin agar mereka mendirikan sebuah jama'ah dari kalangan mereka, yang bertugas menyeru pada kebaikan serta amar ma'ruf dan nahi munkar. Di dalam ayat ini tidak ada perintah kepada seluruh kaum muslimin, agar mereka secara keseluruhan mendirikannya. Melainkan hanya perintah kepada sebagian di antara mereka agar mereka mendirikan sebuah jama'ah dari kalangan mereka, untuk melaksanakan kefardhuan ini. Jadi, perintah di dalam ayat ini diarahkan para perintah untuk mendirikan jama'ah, bukan perintah untuk melakukan dua tugas tersebut.

Kedua tugas tersebut hanya merupakan penjelasan tentang tugas-tugas jama'ah yang harus didirikan, sehingga tugas tersebut hanya merupakan kriteria bentuk jama'ah yang harus didirikan.

Sedangkan sebuah jama'ah, hingga menjadi sebuah jama'ah yang secara langsung mampu melaksanakan tugas tersebut, dalam kapasitasnya sebagai sebuah jama'ah itu harus memiliki syarat-syarat  tertentu sehingga menjadi sebuah jama'ah, yaitu harus melaksanakan tugas tersebut. Sedangkan syarat-syarat yang menjadikan jama'ah itu menjadi sebuah jama'ah adalah adanya ikatan yang mengikat semua anggotanya agar menjadi satu tubuh atau sebuah kelompok. Di mana tanpa adanya ikatan itu, niscaya jama'ah yang harus didirikan -- sebagai sebuah jama'ah yang bertugas sebagaimana layaknya sebuah jama'ah -- itu tidak akan pernah terwujud. Sedangkan syarat lain adalah adanya sesuatu yang bisa menjaga eksistensi jama'ah, yaitu harus ada pemimpin yang wajib ditaati, sehingga bisa melaksanakan fungsi jama'ah. Karena syara' telah memerintah setiap kelompok yang mencapai jumlah 3 orang atau lebih agar mengangkat pemimpin yang memimpin kelompok tersebut. Nabi Saw. bersabda:

"Tidaklah halal bagi tiga orang yang berada di tanah lapang, selain apabila mereka dipimpin oleh salah seorang di antara mereka."

Dua ketentuan tersebut, yaitu adanya ikatan antara anggota jama'ah serta adanya pemimpin yang wajib ditaati, menunjukkan bahwa firman Allah SWT.: "Hendaknya ada di antara kalian sekelompok umat." di atas maknanya adalah hendaknya di antara kalian ada jama'ah yang memiliki ikatan yang bisa mengikat semua anggotanya serta memiliki pemimpin yang wajib ditaati. Inilah jama'ah, kutlah, partai, organisasi atau apapun namanya, yang baru bisa dianggap memenuhi syarat yang menjadikannya sebagai jama'ah, serta mengukuhkan eksistensinya sebagai sebuah jama'ah. Jadi, jelas sekali bahwa ayat ini memerintah mendirikan partai, jama'ah, organisasi, atau lembaga atau apapun yang serupa.

Adapun perintah agar mendirikan jama'ah di dalam ayat ini yang merupakan perintah agar mendirikan partai politik itu muncul dari ayat yang menjelaskan tugas jama'ah tersebut. Yaitu tugas menyeru kepada kebaikan serta amar ma'ruf dan nahi munkar. Di mana tugas amar ma'ruf dan nahi munkar itu berbentuk umum, sehingga mencakup kegiatan memerintah mereka agar melakukan kema'rufan serta mencegah mereka dari kemunkaran. Maka, perintah itu berarti perintah wajib melakukan koreksi terhadap mereka. Sedangkan mengoreksi para penguasa itu merupakan kegiatan politik, yang dilakukan oleh partai politik. Bahkan, kegiatan tersebut merupakan kegiatan partai politik yang paling penting.

Oleh karena itu, ayat di atas menunjukkan hukum wajibnya mendirikan partai politik agar partai politik itu bisa menyeru kepada Islam, amar ma'ruf dan nahi munkar serta mengoreksi para penguasa terhadap semua tindakan dan tingkah laku yang mereka lakukan.

Ayat ini juga menunjukkan bahwa partai-partai itu harus berbentuk partai Islam, yang berdiri di atas landasan akidah Islam serta men-tabanni (mengadopsi) hukum-hukum syara' tertentu. Dan tidak diperbolehkan partai itu berupa partai Komunis, Sosialis, Kapitalis, Nasionalis, Kesukuan, atau partai yang menyerukan Demokrasi, Sekularisasi, Free Masonry atau partai yang berdiri di atas landasan selain akidah Islam serta mengadopsi selain hukum Islam. Karena ayat di atas telah menentukan kriteria partai-partai tersebut dengan tugas-tugas yang harus diembannya. Dan tugas-tugas itu adalah menyeru kepada Islam serta amar ma'ruf dan nahi munkar. Karena itu, yang melakukan tugas-tugas ini harus mengemban Islam serta berdiri di atas landasan Islam dan mengadopsi hukum-hukum Islam. Sedangkan mereka yang berkelompok dengan landasan Komunisme, Sosialisme, Kapitalisme, Demokrasi, Sekularisasi, Free Masonry, Nasionalisme, Sukuisme, ataupun Kedaerahan itu tidak mungkin berdiri di atas landasan Islam dan mengemban Islam serta mengadopsi hukum-hukum Islam. Melainkan dengan landasan kufur serta berkelompok dengan dasar pemikiran-pemikiran kufur.

Oleh karena itu, kaum muslimin haram untuk berkelompok dengan landasan Komunisme, Sosialisme, Kapitalisme, Demokrasi, Sekularisasi, Free Masonry, Nasionalisme, Sukuisme, atau landasan-landasan lain selain landasan Islam.

Partai politik tersebut harus terbuka dan bukan partai di bawah tanah, karena partai tersebut menyeru kepada kebaikan, amar ma'ruf dan nahi munkar serta mengoreksi penguasa. Sedangkan tugas untuk meraih kekuasaan melalui tangan umat itu merupakan sesuatu yang terbuka dan terang-terangan, bukan dengan cara sembunyi-sembunyi dan dirahasiakan, sehingga betul-betul bisa meraih tujuan yang diharapkan.

Tugas-tugas partai tersebut harus bukan berupa tugas-tugas yang bersifat fisik, sebab aktivitas partai itu adalah aktivitas lisan. Yaitu aktivitas untuk menyeru kepada Islam  serta amar ma'ruf dan nahi munkar dengan lisan. Oleh karena itu, sarana-sarana yang dipergunakannya bersifat damai dan tidak mempergunakan senjata serta kekerasan sebagai sarana untuk melaksanakan tugasnya. Karena mengangkat senjata untuk menentang penguasa itu tidak diperbolehkan, sebab banyak hadits yang mencegah tindakan tersebut. Amar ma'ruf dan nahi munkar serta mengoreksi para penguasa itu tidak harus mempergunakan senjata, karena itu sarananya harus bersifat damai dan tidak boleh bersifat fisik (kekerasan). Sedangkan mengangkat senjata untuk menentang penguasa itu hukumnya haram kecuali dalam satu keadaan, yaitu apabila nampak adanya kekufuran yang nyata, di mana kita bisa membuktikan di hadapan Allah. Sebagaimana yang tertuang di dalam hadits Ubadah Bin Shamit: "Dan hendaknya kami tidak merebut urusan (kekuasaan) tersebut dari yang berhak, selain kalau (sabda Rasulullah): 'Kalian menemukan kekufuran yang nyata, di mana kalian mempunyai bukti yang pasti di hadapan Allah'."
2.      Kontribusi agama Islam dalam kehidupan politik yang ada di negara RI ini menurut saya kurang, karena banyak diantara mereka hanya kedok saja, tetapi tidak sesuai dengan hokum islam.
Islam dengan ajaran yang dikandungnya bertujuan mewujudkan kesejahteraan/kemaslahatan hidup. Kesejahteraan umat manusia yang dituju Islam adalah comprehensive human justice, yaitu sikap dan prilaku adil, dan keadilan adalah kesejahteraan dalam arti seutuhnya, bukan keadilan dalam arti ekonomi semata (economic justice).

Umar Ibn al-Khattab misalnya, ketika dibaiat menjadi khalifah, bertekad untuk menjalankan amanah sesuai dengan hukum Allah, lalu dia meminta kepada umat untuk selalu mengingatkan bahkan menghukum dirinya apabila ternyata kelak ia menyimpangdari hukum Ilahi dalam menjalankan roda pemerintahannya. Sebaliknya, apa yang ditunjukkan oleh para elit politik kita masa ini, tidak lebih dari sebuah prilaku yang belum mendudukkan etika agama dalam praktek politiknya.

Padahal mayoritas pelaku kebijakan dari pemerintahan adalah orang-orang yang beragama (Islam). Namun kekuasaan dijalankan hanya sebatas kepentingan sekelompok orang (partai), belum menyeluruh kepada kepentingan rakyat secara nasional. Ambisi akan kemenangan dalam sebuah kompetisi merebut kursi kepemimpinan pada periode berikutnya di atas kepentingan bangsa, akan berujung kepada ketidak percayaan rakyat.

Manusia seharusnya tidak mengabaikan petunjuk Allah dan menukarnya dengan hal yang sepele (kekuasaan). Juga b
ila cara-cara tercela saling mencari aib dan kesalahan terus dilakukan dan dibudayakan, dikhawatirkan wacana dalam kehidupan berdemokrasi, menciptakan masyarakat yang adil dalam kesejahteraan, dan sejahtera dalam keadilan sulit akan terwujud.

3.      Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang realita segala sesuatu dalam batas kemampuan manusia, karena orientasi filosof dalam pengetahuan teoretis adalah untuk mendapatkan kebenaran, dan dalam pengetahuan praktis adalah berprilaku sesuai dengan kebenaran. Al-Farabi di samping menyetujui pengertian ini, juga menambahkan pembedaan antara filsafat yang didasari oleh kepastian (al-yaqîniyyah) seperti halnya demonstrasi (baca : burhan), dan filsafat yang didasari oleh opini (al-madznûnah) seperti halnya dialektika dan sophistry. Beliau juga bersikeras menyatakan bahwa filsafat adalah induk dari segala ilmu pengetahuan dan berkaitan dengan segala sesuatu yang ada. Ibnu Sina juga menerima definisi-definisi awal ini sambil membuat penjelasan-penjelasannya sendiri.
 Pada dasrnya filsafat adalah berfikir untuk memecahkan masalah secara radikal dan universal guna memperoleh kebenaran.
Di dalam islam sendiri berfilsafat itu sangat dianjurkan. Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menganjurkan dan mendorong manusia untuk benyak berfikir dan menggunakan akalnya.
Di dalam al-Qur’an dijumpai perkataan yang berakar dari kata ‘Aql (akal) sebanyak 49 kali, yang semuanya dalam bentuk kata kerja aktif, seperti ‘aqaluh : ta’qilun : na’qil : ya’qiluha : ya’qilun.

Sebenarnya bukan hanya kata ‘aqala saja yang dugunakan dalam ayat al-Quran. Tetapi banyak juga kata yang digunakan dalam al-Qur’an yang berarti atau diartikan berpikir, paham, dll. Sehingga jelaslah kalau ajaran islam sangat menganjurkan manusia untuk memakai akalnya.
Disamping itu, anjuran dan dorongan untuk berfilsafat dapat dipahami dari pengertian ayat itu sendiri. Ayat itu arti asalnya adalah tanda. Dan tanda m erupakan suatu petunjuk yang mengarahkan pada sesuatu yang ada dibalik tanda. Di d alam al-Qur’an ayat dalam arti tanda itu juga dipakai terhadap fenomena alam yang banyak disebut ayat kauniyah atau ayat tentang kosmos. Sebagai contoh dalam Q.S al-Qur’an ayat 164 dalam ayat tersebut disebutkan bahwa kosmos ini penih dengan tanda-tanda yang harus diperhatikan, diteliti, dan dipikirkan serta direnungkan oleh manusia, baik secara ilmiah maupun filosofis, untuk mengetahui rahasia yang terletak dibalik tanda-tanda itu.
Dan disini jelaslah, bahwa filsafat objek yang dipikirkan sendiri yaitu bidang permasalahan yang bersifat filosofis yakni bidang yang terletak di antara dunia ketuhanan yang gaib dengan dunia pengetahuan yang nyata.
Dengan demikian filsafat berfungsi menjembatani kesenjangan antara maslaah-masalah yang bersifat keagamaan semata-mata (teologis) dengan masalah yang bersifat ilmiah (ilmu pengetahuan).

Filsafat juga selalu memikirkan kembali atau mempertanyakan segala sesuatu yang datang secara otoritatif, sehingga mendatangkan pemahaman yang sebenar-benarnya yang selanjutnya bisa mendatangkan kebiijaksanaan dan menghilangkan kesenjangan antar ajaran islam dengan ilmu pengetahuan modern sebagaimana yang sering dipahami dan menggejala di kalangan umat islam selama ini.
NB : REFERENSI - LUPA

Komentar

Postingan populer dari blog ini

IMPLEMENTASI PANCASILA DALAM BIDANG TEKNIK SIPIL

PENGARUH EKSENTRISITAS BEBAN TERHADAP DAYA DUKUNG PONDASI DANGKAL

ISD - Part 7