Pendidikan Agama Islam Part 4
Soal :
1. Bagaimana cara yang baik dalam
agama Islam ketika kita hidup dalam lingkungan yang minoritas dan mayoritas
beragama non Islam.
2. Perdagangan menurut ajaran Islam yang benar, yang bagaimana.
3. Apa yang anda ketahui mengenai warisan.
2. Perdagangan menurut ajaran Islam yang benar, yang bagaimana.
3. Apa yang anda ketahui mengenai warisan.
Jawab :
1.
Islam merupakan agama rahmatan lil-‘alamin yang memberikan
makna bahwa perilaku Islam (penganut dan pemerintah Islam) terhadap non muslim,
dituntut untuk kasih sayang dengan memberikan hak dan kewajiban yang sama
seperti halnya penganut muslim sendiri dan tidak saling mengganggu dalam
masalah kepercayaan. Islam membagi daerah ( wilayah ) berdasarkan agamanya atas
Darul Muslim dan Darul Harbi. Darul Muslim adalah suatu wilayah yang
penduduknya memusuhi Islam. Penduduk
Darul Harbi selalu mengganggu penduduk Darul Muslim, menghalangi dakwah Islam,
melakukan penyerangan terhadap Darul Muslim. Terhadap penduduk Darul Harbi yang
demikian bagi umat Islam berkewajiban melakukan jihad (berperang) melawannya,
seperti difirmankan dalam Al- Qur’an surat Al – Mumtahanah (60) ayat 9.
2.
Islam memang menghalalkan usaha perdagangan, perniagaan dan
atau jual beli. Namun tentu saja untuk orang yang menjalankan usaha perdagangan
secara Islam, dituntut menggunakan tata cara khusus, ada aturan mainnya yang
mengatur bagaimana seharusnya seorang Muslim berusaha di bidang perdagangan
agar mendapatkan berkah dan ridha Allah SWT di dunia dan akhirat.
Aturan
main perdagangan Islam, menjelaskan berbagai etika yang harus dilakukan oleh
para pedagang Muslim dalam melaksanakan jual beli. Dan diharapkan dengan menggunakan
dan mematuhi etika perdagangan Islam tersebut, suatu usaha perdagangan dan
seorang Muslim akan maju dan berkembang pesat lantaran selalu mendapat berkah
Allah SWT di dunia dan di akhirat. Etika perdagangan Islam menjamin, baik
pedagang maupun pembeli, masing-masing akan saling mendapat keuntungan.
Adapun
etika perdagangan Islam tersebut antara lain:
1.
Shidiq (Jujur)
Seorang
pedagang wajib berlaku jujur dalam melakukan usaha jual beli. Jujur dalam arti
luas. Tidak berbohong, tidak menipu, tidak mcngada-ngada fakta, tidak
bekhianat, serta tidak pernah ingkar janji dan lain sebagainya. Mengapa harus
jujur? Karena berbagai tindakan tidak jujur selain merupakan perbuatan yang
jelas-jelas berdosa, –jika biasa dilakukan dalam berdagang– juga akan mewarnal dan
berpengaruh negatif kepada kehidupan pribadi dan keluarga pedagang itu sendiri.
Bahkan lebih jauh lagi, sikap dan tindakan yang seperti itu akan mewarnai dan
mempengaruhi kehidupan bermasyarakat.
Dalam
Al Qur’an, keharusan bersikap jujur dalam berdagang, berniaga dan atau jual
beli, sudah diterangkan dengan sangat jelas dan tegas yang antara lain
kejujuran tersebu –di beberapa ayat– dihuhungkan dengan pelaksanaan timbangan,
sebagaimana firman Allah SWT: ”Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil”. (Q.S
Al An’aam(6): 152)
Firman
Allah SWT:
”Sempurnakanlah
takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan, dan timbanglah
dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada
hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi ini dengan membuat
kerusakan.” (Q.S AsySyu’araa(26): 181-183)
“Dan
sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang
benar. ItuIah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S Al
lsraa(17): 35)
“Dan
tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca
itu.” (Q.S Ar Rahmaan(55): 9)
Dengan
hanya menyimak ketiga ayat tersebut di atas, maka kita sudah dapat mengambil
kesimpulan bahwa; sesungguhnya Allah SWT telah menganjurkan kepada seluruh
ummat manusia pada umumnya, dan kepada para pedagang khususnya untuk berlaku
jujur dalam menimbang, menakar dan mengukur barang dagangan. Penyimpangan dalam
menimbang, menakar dan mengukur yang merupakan wujud kecurangan dalam
perdagangan, sekalipun tidak begitu nampak kerugian dan kerusakan yang
diakibatkannya pada manusia ketimbang tindak kejahatan yang lehih besar lagi
seperti; perampokan, perampasan, pencu rian, korupsi, manipulasi, pemalsuan dan
yang lainnya, nyatanya tetap diharamkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Mengapa?
Jawabnya adalah; karena kebiasaan melakukan kecurangan menimbang, menakar dan
mengukur dalam dunia perdagangan, akan menjadi cikal baka! dari bentuk
kejahatan lain yang jauh lebih besar. Sehingga nampak pula bahwa adanya pengharaman
serta larangan dari Islam tersebut, merupakan pencerminan dan sikap dan
tindakan yang begitu bijak yakni, pencegahan sejak dini dari setiap bentuk
kejahatan manusia yang akan merugikan manusia itu sendiri.
Di
samping itu, tindak penyimpangan dan atau kecurangan menimbang, menakar dan
mengukur dalam dunia perdagangan, merupakan suatu perbuatan yang sangat keji
dan culas, lantaran tindak kejahatan tersebut bersembunyi pada hukum dagang
yang telah disahkan baik oleh pemerintah maupun masyarakat, atau mengatasnamakan
jua! beli atas dasar suka sama suka, yang juga telah disahkan oleh agama.
Jika
penampokan, pencurian, pemerasan, perampasan, –sudah jelas– merupakan tindakan
memakan harta orang lain dengan cara batil, yang dilakukan dengan jalan
terang-terangan. Namun tindak penyimpangan dan atau kecurangan dalam menimbang,
menakar dan mengukur barang dagangan, merupakan kejahatan yang dilakukan secara
sembunyi-sembunyi. Sehingga para pedagang yang melakukan kecurangan tersebut,
pada hakikatnya adalah juga pencuri, perampok dan perampas dan atau penjahat,
hanya mereka bersembunyi di balik lambang keadilan yakni, timbangan, takaran
dan ukuran yang mereka gunakan dalam perdagangan. Dengan demikian, tidak ada
bedanya! Mereka sama-sama penjahat. Maka alangkah kejinya tindakan mereka itu.
Sehingga wajar, jika Allah SWT dan Rasul-Nya mengharamkan perbuatan tersebut,
dan wajar pula jika para pelakunya diancam Allah SWT; akan menerima azab dan
siksa yang pedih di akhirat kelak, sebagaimana Firman Allah SWT dalam Al Qur’an:
“Kecelakaan
besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila
menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka
menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah
orang-orang ini menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada
suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan
Semesta Alam ini.” (Q.S Al Muthaffifiin (83): 1-6)
Selain
ancaman azab dan siksa di akhirat kelak –bagi orang-orang yang melakukan
berbagai bentuk penyimpangan dan kecurangan dalam menakar, menimhang dan
mengukur barang dagangan mereka–, sesungguhnya Al Qur’an juga telah menuturkan
dengan jelas dan tegas kisah onang-orang Madyan yang terpaksa harus menerima
siksa dunia dari Allah SWT, lantaran menolak peringatan dari Nabi mereka Syuaib
as.
“Dan
(Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka Syuaib. Ia
berkata:”Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu
selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu.
Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah membuat kerusakan di
muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu
jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman”. (Q.S Al A’raaf(7): 85)
“Dan
tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Syuaib dan orang-orang yang beriman
bersama-sama dia dengan Rahmat dari Kami, dan orang-orang yang zalim
dibinasakan oleh satu suara yang mengguntur, lalu jadilah mereka mati bergelimpang
an di temnpat tinggalnya.” (Q.S Hud(11): 94)
Kedua
ayat tersebut di atas, hendaknya menjadi peringatan bagi kita, bahwa ternyata
perbuatan curang dalam menimbang, menakar dan mengukur barang dagangan, sama
sekali tidak memberikan keuntungan, kehahagiaan bagi para pelakunya, bahkan
hanya menimbulkan murka Allah. Sedangkan azab dan siksa serta hukuman bagi para
pelaku kejahatan tersebut, nyatanya tidak selalu diturunkan Allah SWTI kelak
dii akhirat saja, namun juga diturunkan di dunia.
Oleh
sebab itu, Rasulullah SAW –dalam banyak haditsnya–, kerapkali mengingatkan para
pedagang untuk berlaku jujur dalam berdagang.
Sabda
Rasulullah SAW:
”Wahai
para pedagang, hindarilah kebohongan”. (HR. Thabrani)
“Seutama-utama
usaha dari seseorang adalah usaha para pedagang yang bila berbicara tidak
berbohiong, bila dipercaya tidak berkhianat, bila berjanji tidak ingkar, bila
membeli tidak menyesal, bila menjual tidak mengada -gada, bila mempunyai
kewajiban tidak menundanya dan bila mempunyai hak tidak menyulitkan”. (HR. Ahmad,
Thabrani dan Hakim)
“Pedagang
dan pembeli keduanya boleh memilih selagi belum berpisah. Apabila keduanya
jujur dan terang-terangan, maka jual belinya akan diberkahi. Dan apabila
keduanya tidak rnau berterus terang serta berbohong, maka jual belinya tidak
diberkahi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah
SAW menegaskan pula, bahwa pedagang yang jujur dalam melaksakan jual beli, di
akhirat kelak akan ditempatkan di tempat yang mulia. Suatu ketika akan bersama-
sama para Nabi dan para Syahid. Suatu ketika di bawah Arsy, dan ketika lain
akan berada di suatu tempat yang tidak terhalang baginya masuk ke dalam surga.
Sabda
Rasulullah SAW:
“Pedagang
yang jujur serta terpercaya (tempatnya) bersama para Nabi, orang-orang yang
jujur, dan orang-orang yang mati Syahid pada hari kiamat”. (HR. Bukhari, Hakim,
Tirmidzi dan Ibnu Majjah)
“Pedagang
yang jujur di bawah Arsy pada hari kiamat”. (HR. Al-Ashbihani)
“Pedagang
yang jujur tidak terhalang dari pintu-pintu surga”. (HR. Tirmidzi)
Allah
Ta’ala berfirman (dalam hadits Qudsi):
“Aku
yang ketiga (bersama) dua orang yang berserikat dalam usaha (dagang) selama
yang seorang tidak berkhianat (curang) kepada yang lainnya. Apabila berlaku
curang, maka Aku keluar dari mereka.” (HR. Abu Dawud)
“Sesama
Muslim adalah saudara. Oleh karena itu seseorang tidak boleh menjual barang
yang ada cacatnya kepada saudaranya, namun ia tidak menjelaskan cacat
tersebut.” (HR. Ahmad dan lbnu Majaah)
“Tidak
halal bagi seseorang menjual sesuatu barang dengan tidak menerangkan (cacat)
yang ada padanya, dan tidak halal bagi orang yang tahu (cacal) itu, tapi tidak
menerangkannya.” (HR. Baihaqie)
“Sebaik-baik
orang Mu‘min itu ialah, mudah cara menjualnya, mudah cara membelinya, mudah
cara membayarnya dan mudah cara menagihnya.” (HR. Thabarani)
2.
Amanah (Tanggungjawab)
Setiap
pedagang harus bertanggung jawab atas usaha dan pekerjaan dan atau jabatan
sebagai pedagang yang telah dipilihnya tersebut. Tanggung jawab di sini
artinya, mau dan mampu menjaga amanah (kepercayaan) masyarakat yang memang
secara otomatis terbeban di pundaknya.
Sudah
kita singgung sebelumnya bahwa –dalam pandangan Islam– setiap pekerjaan manusia
adalah mulia. Berdagang, berniaga dan ataujual beli juga merupakan suatu
pekerjaan mulia, lantaran tugasnya antara lain memenuhi kebutuhan seluruh
anggota masyarakat akan barang dan atau jasa untuk kepentingan hidup dan
kehidupannya.
Dengan
demikian, kewajiban dan tanggungjawab para pedagang antara lain: menyediakan
barang dan atau jasa kebutuhan masyarakat dengan harga yang wajar, jumlah yang
cukup serta kegunaan dan manfaat yang memadai. Dan oleh sebab itu, tindakan
yang sangat dilarang oleh Islam –sehubungan dengan adanya tugas, kewajiban dan
tanggung jawab dan para pedagang tersebut– adalah menimbun barang dagangan.
Menimbun
barang dagangan dengan tujuan meningkatkan pemintaan dengan harga selangit
sesuai keinginan penimbun barang, merupakan salah satu bentuk kecurangan dari
para pedagang dalam rangka memperoleh keuntungan yang berlipat ganda.
Menimbun
barang dagangan –terutama barangbarang kehutuhan pokok– dilarang keras oleh
Islam! Lantaran perbuatan tersebut hanya akan menimbulkan keresahan dalam
masyarakat. Dan dalam prakteknya, penimbunan barang kebutuhan pokok masyarakat
oleh sementara pedagang akan menimbulkan atau akan diikuti oleh berhagai hal
yang negatifseperti; harga-harga barang di pasar melonjak tak terkendali,
barang-barang tertentu sulit didapat, keseimbangan permintaan dan penawaran
terganggu, munculnya para spekulan yang memanfaatkan kesempatan dengan mencari
keuntungan di atas kesengsaraan masyarakat dan lain sebagainya.
Ada
banyak hadits Rasulullah yang menyinggung tentang penimbunan barang dagangan,
baik dalam bentuk peringatan, larangan maupun ancaman, yang .ntara lain sebagai
berikut:
Sabda
Rasulullah (yang artinya):
“Allah
tidak akan berbelas kasihan terhadap orang-orang yang tidak mempunyai belas
kasihan terhadap orang lain.” (HR. Bukhari)
“Barangsiapa
yang melakukan penimbunan terhadap makanan kaum Muslimin, Allah akan menimpanya
dengan kerugian atau akan terkena penyakit lepra.” (HR. Ahmad)
“Orang
yang mendatangkan barang dagangan untuk dijual, selalu akan memperoleh rejeki,
dan orang yang menimbun barang dagangannya akan dilaknat Allah.” (HR. lbnu
Majjah)
“Barangsiapa
yang menimbun makanan, maka ia adalah orang yang berdosa.” (HR. Muslim dan Abu
Daud)
“Barangsiapa
yang menimbun makanan selama 40 hari, maka ia akan lepas dari tanggung jawab
Allah dan Allah pun akan cuci tangan dari perbuatannya.” (HR. Ahmad)
3.
Tidak Menipu
Dalam
suatu hadits dinyatakan, seburuk-buruk tempat adalah pasar. Hal ii lantaran
pasar atau termpat di mana orang jual beli itu dianggap sebagal sebuah tempat
yang di dalamnya penuh dengan penipuan, sumpah palsu, janji palsu, keserakahan,
perselisihan dan keburukan tingkah polah manusia lainnya.
Sabda Rasulullah
SAW:
“Sebaik-baik
tempat adalah masjid, dan seburk-buruk tempat adalah pasar”. (HR. Thabrani)
“Siapa
saja menipu, maka ia tidak termasuk golonganku”. (HR. Bukhari)
Setiap
sumpah yang keluar dan mulut manusia harus dengan nama Allah. Dan jika sudah
dengan nama Allah, maka harus benar dan jujur. Jika tidak henar, maka akibatnya
sangatlah fatal.
Oleh
sehab itu, Rasulululah SAW selalu memperingatkan kepada para pedagang untuk
tidak mengobral janji atau berpromosi secara berlebihan yang cenderung mengada-ngada,
semata-mata agar barang dagangannya laris terjual, lantaran jika seorang
pedagang berani bersumpah palsu, akibat yang akan menimpa dirinya hanyalah
kerugian.
Sabda
Rasulullah SAW:
“Jangan
bersumpah kecuali dengan nama Allah. Barangsiapa bersumpah dengan nama Allah,
dia harus jujur (benar). Barangsiapa disumpah dengan nama Allah ia harus rela
(setuju). Jika tidak rela (tidak setuju), niscaya lepaslah ia dari pertolongan
Allah.” (HR. lbnu Majaah dan Aththusi)
“Ada
tiga kelompok orang yang kelak pada hari kiamat Allah tidak akan berkata-kata,
tidak akan melihat, tidak akanpula mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang
pedih. Abu Dzarr berkata, “Rasulullah mengulang-ulangi ucapannya itu, dan aku
hertanya,” Siapakah mereka itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang
pakaiannya menyentuh tanah karena kesombongannya, orang yang menyiarkan
pemberiannya (mempublikasikan kebaikannya), dan orang yang menjual dagangannya
dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim)
“Sumpah
dengan maksud melariskan barang dagangan adalah penghapus barokah.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
“Sumpah
(janji) palsu menjadikan barang dagangan laris, (tetapi) menghapus keberkah
an”. (HR. Tirmidzi, Nasal dan Abu Dawud)
“Berhati-hatilah,
jangan kamu bersumpah dalam penjualan. Itu memang melariskan jualan tapi
menghilangkan barokah (memusnahkan perdagangan).” (HR. Muslim)
Sementara
itu, apa yang kita alami selama ini, jual beli, perdagangan dan atau perniagaan
di zaman sekarang –terutama di pasar-pasar bcbas– tidak banyak lagi diketemukan
orang yang mau memperhatikan etiket perdagangan Islam. Bahkan nyaris, setiap
orang –penjual maupun pembeli– tidak mampu lagi membedakan barang yang halal
dan yang haram, dimnana keadaan ini sesungguhnya sudah disinyalir akan terjadi
oleh Rasulullah SAW, sebagaimana dinyatakan dalam haditsnya.
Dari
Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda: “Akan datang pada manusia suatu zaman yang seseorang tidak
memperhatikan apakah yang diambilnya itu dan barang yang halal atau haram.”
(HR. Bukhari)
Memang
sangat disayangkan, mengapa hal seperti ini harus terjadi? Sementara tidak
hanya sekali saja Rasulullah SAW memberi peringatan kepada para pedagang untuk
berbuat jujur, tidak menipu dalam berjual beli agar tidak merugikan orang lain.
Sehagaimana pernyataan beberapa hadits di bawah ini:
Dari
Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah
seseorang menjual akan suatu barang yang telah dibeli oleh orang lain”. (HR.
Bukhari)
Dari
lbnu Umar: Bahwa seorang laki-laki menyatakan pada Nabi SAW bahwa ia tertipu
ketika berjual heli. Maka Nabi menyatakan: “Jika engkau berjualbeli maka katakanlah: Tidak boleh
menipu”. (HR. Bukhari)
4.
Menepati Janji
Seorang
pedagang juga dituntut untuk selalu menepati janjinya, baik kepada para pembeli
maupun di antara sesama pedagang, terlebih lagi tentu saja, harus dapat
menepati janjinya kepada Allah SWT.
Janji
yang harus ditepati oleh para pedagang kepada para pembeli misalnya; tepat
waktu pengiriman, menyerahkan barang yang kwalitasnya, kwantitasnya, warna,
ukuran dan atau spesifikasinya sesuai dengan perjanjian semula, memberi layanan
puma jual, garansi dan lain sebagainya. Sedangkan janji yang harus ditepati
kepada sesama para pedagang misalnya; pembayaran dengan jumlah dan waktu yang
tepat.
Sementara
janji kepada Allah yang harus ditepati oleh para pedagang Muslim misalnya
adalah shalatnya. Sebagaimana Firman Allah dalam Al Qur’an:
“Apabila
telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyaknya supaya kamu beruntung. Dan
apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju
kepadaNya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah:
”Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”,
dan Allah sebaik-baik pemberi rezki” (Q.S Al Jumu’ah (62):10-11)
Dengan
demikian, sesibuk-sibuknya urusan dagang, urusan bisnis dan atau urusan jual
beli yang sedang ditangani –sebagai pedagang Muslim– janganlah pernah
sekali-kali meninggalkan shalat. Lantaran Allah SWT masih memberi kesempatan
yang sangat luas kepada kita untuk mencari dan mendapatkan rejeki setelah
shalat, yakni yang tercermin melalui perintah-Nya; bertebaran di muka bumi
dengan mengingat Allah SWT banyak- banyak supaya beruntung.
5.
Murah Hati
Dalam
suatu hadits, Rasulullah SAW menganjurkan agar para pedagang selalu bermurah
hati dalam melaksanakan jual beli. Murah hati dalam pengertian; ramah tamah,
sopan santun, murah senyum, suka mengalah, namun tetap penuh tanggungjawab.
Sabda
Rasulullah SAW:
“Allah
berbelas kasih kepada orang yang murah hati ketika ia menjual, bila membeli dan
atau ketika menuntut hak”. (HR. Bukhari)
“Allah
memberkahi penjualan yang mudah, pembelian yang mudah, pembayaran yang mudah
dan penagihan yang mudah”. (HR. Aththahawi)
6.
Tidak Melupakan Akhirat
Jual
beli adalah perdagangan dunia, sedangkan melaksanakan kewajiban Syariat Islam
adalah perdagangan akhirat. Keuntungan akhirat pasti lebih utama ketimbang
keuntungan dunia. Maka para pedagang Muslim sekali-kali tidak boleh terlalu
menyibukkan dirinya semata-mata untuk mencari keuntungan materi dengan
meninggalkan keuntungan akhirat. Sehingga jika datang waktu shalat, mereka
wajib melaksanakannya sebelum habis waktunya. Alangkah baiknya, jika mereka
bergegas bersama-sama melaksanakan shalat berjamaah, ketika adzan telah
dikumandangkan. Begitu pula dengan pelaksanaan kewajiban memenuhi rukun Islam
yang lain. Sekali-kali seorang pedagang Muslim hendaknya tidak melalaikan
kewajiban agamanya dengan alasan kesibukan perdagangan.
Sejarah
telah mencatat, bahwa dengan berpedoman kepada etika perdagangan Islam
sebagaimana tersebut di atas, maka para pedagang Arab Islam tempo dulu mampu
mengalami masa kejayaannya, sehinga mereka dapat terkenal di hampir seluruh
penjuru dunia.
3.
Dalam keilmuan Islam ada dua istilah ilmu yang membahas
pembagian harta warisan, yaitu ilmu mawaris dan ilmu fara'id. Meskipun objek
pembahasan keduanya sama tetapi istilahnya jelas berbeda.
Kata mawarits adalah jama' dari mirats. Miras sendiri adalah jamak dari waratsa-yaritsu-miyraatsan. Secara etimoloi kata mirats memiliki arti diantarnaya: yang kekal, yang berpindah dan Al mauruts yang maknanya at-tirkah" harta peninggalan orang yang meninggal dunia. ketiga arti tersebut lebih menekankan kepada objek dari pewarisan yaitu harta peninggalan pewaris.
Kata fara`id secara bahasa adalah bentuk jama' dari kata faridhoh. kata ini berasal dari kata fardu yang mempunyai arti cukup banyak. Oleh par aulama kata fara`id diartikan sebagai al-mafrudhoh yang berarti al muqaddarah, bagian yang telah ditentukan. Dalam kontek kewarisan adalah bagain par ahli waris.
Apabila dibandingkan kedua istilah diatas dalam pengertian bahasa kata mawaris mengandung pengertian yang lebih luas dan menampung untuk menyebut ilmu yang membahas tata cara pembagian harta peninggalan orang yang meninggal dunia dibandinkan dengan fara`id.
Apabila ditelusuri sejarah pemakaian kedua istilah itu di kalangan para ulama, tampaknya pada awalnya lebih banyak digunakan kata fara`id dari pada mawarits. Hal ini dapat dilihat dari fikih-fikih klasik. Adapun pada masa belakangan ini menunjukan kebalikannya.
Seacara terminologi ada beberapa rumusan yang dikemukakan oleh para ulama.
Syaikh al Khatib As Syarbini: " Ilmu fikih yang berpautan dengan pembagian harta warisan dan penetahuan tentang perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta warisan tersebut, dan pengetahuan tentan bagian-bagian yang wajib dari harta warisan bagi semua pihak yang memiliki hak."
Di dalam Al-Qur'an memang ada beberapa ayat yang menyebutkan masalah hak waris bagi para kerabat (nasab), akan tetapi tentang besar-kecilnya hak waris yang mesti diterima mereka tidak dijelaskan secara rinci. Di antaranya adalah firman Allah berikut:
Kata mawarits adalah jama' dari mirats. Miras sendiri adalah jamak dari waratsa-yaritsu-miyraatsan. Secara etimoloi kata mirats memiliki arti diantarnaya: yang kekal, yang berpindah dan Al mauruts yang maknanya at-tirkah" harta peninggalan orang yang meninggal dunia. ketiga arti tersebut lebih menekankan kepada objek dari pewarisan yaitu harta peninggalan pewaris.
Kata fara`id secara bahasa adalah bentuk jama' dari kata faridhoh. kata ini berasal dari kata fardu yang mempunyai arti cukup banyak. Oleh par aulama kata fara`id diartikan sebagai al-mafrudhoh yang berarti al muqaddarah, bagian yang telah ditentukan. Dalam kontek kewarisan adalah bagain par ahli waris.
Apabila dibandingkan kedua istilah diatas dalam pengertian bahasa kata mawaris mengandung pengertian yang lebih luas dan menampung untuk menyebut ilmu yang membahas tata cara pembagian harta peninggalan orang yang meninggal dunia dibandinkan dengan fara`id.
Apabila ditelusuri sejarah pemakaian kedua istilah itu di kalangan para ulama, tampaknya pada awalnya lebih banyak digunakan kata fara`id dari pada mawarits. Hal ini dapat dilihat dari fikih-fikih klasik. Adapun pada masa belakangan ini menunjukan kebalikannya.
Seacara terminologi ada beberapa rumusan yang dikemukakan oleh para ulama.
Syaikh al Khatib As Syarbini: " Ilmu fikih yang berpautan dengan pembagian harta warisan dan penetahuan tentang perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta warisan tersebut, dan pengetahuan tentan bagian-bagian yang wajib dari harta warisan bagi semua pihak yang memiliki hak."
Di dalam Al-Qur'an memang ada beberapa ayat yang menyebutkan masalah hak waris bagi para kerabat (nasab), akan tetapi tentang besar-kecilnya hak waris yang mesti diterima mereka tidak dijelaskan secara rinci. Di antaranya adalah firman Allah berikut:
1.
"Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan
ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian
yang telah ditetaplan. " (an-Nisa': 7)
2.
"... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di
dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."
(al-Anfal: 75)
3.
"... Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu
sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada
orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat
baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah
tertulis di dalam Kitab (Allah)." (al-Ahzab: 6)
Untuk lebih menjelaskan permasalahan tersebut perlu saya ketengahkan satu
contoh kasus supaya hikmah Allah dalam menetapkan hukum-hukum-Nya akan terasa
lebih jelas dan nyata. Contoh yang dimaksud di sini ialah tentang pembagian hak
kaum laki-laki yang banyaknya dua kali lipat dari bagian kaum wanita.
Seseorang meninggal dan mempunyai dua orang anak, satu laki-laki dan satu
perempuan. Ternyata orang tersebut meninggalkan harta, misalnya sebanyak Rp 3
juta. Maka, menurut ketetapan syariat Islam, laki-laki mendapatkan Rp 2 juta sedangkan
anak perempuan mendapatkan Rp 1 juta.
NB :REFERENSI - LUPA
Komentar