PENDIDIKAN DAN KEWARGANEGARAAN
MAKALAH
PENDIDIKAN
DAN KEWARGANEGARAAN
MASALAH
KHUSUS: PASAL 27 AYAT 1 UUD 1945
Disusun
Oleh:
1.
Ayu
Fatimah Zahra
2.
Era
Agita Kabdiyono
3.
Ervina
Yuliyanti
4.
Yan
Dhuan Y.
Dosen
: Emiliashah Banowo
JURUSAN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN
PERENCANAAN
UNIVERSITAS GUNADARMA
2013
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
“Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.
Pernyataan ini terdapat dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 3. Negara hukum bersandar pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang
adil dan baik. Hukum yang adil dan baik harus dijunjung tinggi oleh seluruh
warga negara Indonsia, seperti yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 1
yang berbunyi: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal ini mengandung
dua makna, yaitu hak dan kewajiban sebagai warga negara. Hak yang dimaksud
adalah hak untuk mendapat perlakuan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan,
sedangkan kewajibannya adalah menjunjung hukum dan pemerintahan. Dalam pasal 27
ayat 1 terdapat kalimat “..tidak ada kecualinya”, maksudnya hak untuk mendapat
perlakuan yang sama di mata hukum dan menjunjung tinggi hukum adalah berlaku
untuk seluruh warga negara Indonesia.
Namun,
pasal hanyalah pasal. Sebuah aturan tertulis yang saat ini masih banyak
dilanggar oleh masyarakat dan pemerintah itu sendiri. Banyak sekali pihak yang
belum menjalankan konstitusi dengan baik, salah satunya adalah dalam hak dan
kewajiban pasal 27 ayat 1 UUD 1945. Fenomena
yang terjadi adalah masyarakat Indonesia
sedang mengalami krisis kepatuhan hukum. Saat ini hukum bisa dibayar dengan
uang dan jabatan. Inilah Indonesia, hukum sepertinya tak pernah berpihak kepada
rakyat kecil yang tak memiliki daya dan upaya untuk memperjuangkan haknya di
depan hukum. Padahal setiap manusia
memiliki hak yang mutlak dalam dirinya, yaitu Hak Asasi Manusia yang salah
satunya adalah hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum serta
kewajiban menjunjung tinggi hukum yang berlaku.
1.2
RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah pada penulisan ini adalah sebagai
berikut:
1. Apakah makna yang terkandung dalam pasal 27 ayat 1
UUD 1945?
2. Bagaimana ruang lingkup permasalahan yang
berhubungan dengan pasal 27 ayat 1 UUD 1945?
3. Bagaimana solusi terhadap permasalahan yang
berhubungan dengan pasal 27 ayat 1 UUD 1945?
1.3
BATASAN MASALAH
Masalah HAM merupakan masalah yang
kompleks, setidak-tidaknya ada tiga masalah utama yang harus dicermati dalam
membahas masalah HAM, antara lain: Pertama, HAM merupakan masalah yang sedang
hangat dibicarakan, karena (1) topik HAM merupakan salah satu di antara tiga
masalah utama yang menjadi keprihatinan dunia. Ketiga topik yang memprihatinkan
itu antara lain: HAM, demokratisasi dan pelestarian lingkungan hidup. Dalam hal
ini segala sesuatu tentang ketentuan HAM telah tersirat dalam pasal 27, pasal
28, pasal 29, pasal 30 dan pasal 31 UUD tahun 1945., oleh karena itu penulis
memberikan batasan masalah hanya pada satu pasal, yaitu pasal 27 ayat 1 UUD
1945 yang menjadi aspke utama dalam pembahasan HAM.
1.4
TUJUAN PENULISAN
Tujuan
penulisan ini diantaranya:
1.
Mengetahui makna dari pasal 27 ayat 1
UUD 1945.
2.
Mengetahui masalah yang terjadi di
masyarakat akibat penyimpangan pasal 27 ayat 1 UUD 1945.
3.
Memberi solusi terhadap masalah yang
terjadi agar hak dan kewajiban masyarakat dapat terpenuhi.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1
PASAL 27 AYAT 1 UUD 1945
Pasal
27 ayat (1) : “Segala
warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Pasal
27 ayat 1, menyatakan kesamaan kedudukan warganegara di dalam hukum dan
pemerintahan dan berkewajiban menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak
ada kecualinya. Hal ini menunjukkan adanya keseimbangan antara hak dan
kewajiban, dan tidak ada diskriminasi di antara warganegara baik mengenai
haknya maupun mengenai kewajibannya.
Hak asasi manusia menurut Perserikatan
Bangsa-Bangsa, adalah hak yang melekat pada manusia, sejak manusia
dilahirkan.Dengan demikian eksistensi hak asasi manusia dipandang sebagai
aksioma yang bersifat given, dalam arti kebenarannya seyogianya dapat dirasakan
secara langsung dan tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut (Anhar Gonggong,
dkk., 1995: 60).
2.2 PENEGAKAN
HUKUM
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya
untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman
perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Proses pengakan hukum itu sendiri bisa ditinjau
dari sudut subyeknya dan dari sudut obyeknya.
1.
Ditinjau dari sudut subyeknya:
a.
Dalam arti luas, proses penegakkan hukum melibatkan
semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan
aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan
mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan
atau menegakkan aturan hukum.
b.
Dalam arti sempit, penegakkan hukum hanya
diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan
memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya.
2.
Ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi
hukumnya:
a.
Dalam arti luas, penegakkan
hukum yang mencakup pada nilai-nilai keadilan yang di dalamnya
terkandung bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang ada dalam
bermasyarakat.
b.
Dalam arti sempit, penegakkan hukum itu hanya menyangkut
penegakkan peraturan yang formal dan tertulis.
Hukum dapat tercipta bila masyarakat sadar akan hukum tanpa membuat
kerugian pada orang lain. Penegakkan Hukum di Indonesia tidak terlepas dari
peran para aparat penegak hukum. Menurut Pasal 1 Bab 1 Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang dimaksud aparat penehak hukum
oleh undang-undang ini adalah sebagai berikut:
1.
Penyelidik ialah pejabat polisi negara Repulik
Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang
diberikan wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikkan.
2.
Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan
pengadilan yang telah memperoleh hukum tetap.
3.
Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh
undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan ketetapan hakim.
4.
Hakim yaitu pejabat peradilan Negara yang diberi
kewenangan oleh undang-undang untuk mengadili.
5.
Penasehat hukum ialah seseorang yang memenuhi syarat
yang ditentukan oleh undang-undang untuk memeberikan bantuan hukum.
Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum
dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum
yang teribat dalam proses tegaknya hukum, dimulai dari saksi, polisi, penasehat
hkum, jaksa, hakim dan petugas sipil pemasyarakatan. Dalam proses
bekerjanya aparatur penegak hukum, terdapat tiga elemen penting yang
mempengaruhi, yaitu:
a.
Institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana
prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya.
b.
Budaya kerja yang terkait dengan aparatnya termasuk
mengenai kesejahteraan aparatnya.
c.
Perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja
kelembagaanya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja,
baik hukum materiilnya maupun hukum acaranya.
Menurut Soerjono Soekanto faktor-faktor yang mempengaruhi
penegakkan hukum sebagai berikut:
1.
Faktor hukumnya sendiri
Semakin baik suatu peraturan hukum akan semakin baik
memungkinkan penegakannya. Sebaliknya, semakin tidak baik suatu peraturan hukum
akan semakin sukarlah menegakkannya. Secara umum, peraturan hukum yang
baik adalah peraturan hukum yang berlaku secara yuridis, sosiologis dan
filosofis.
a. Secara
Yuridis:
Setiap peraturan hukum yang berlaku haruslah bersumber
pada peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. Ini berarti bahwa setiap
peraturan hukum yang berlaku tidak boleh bertentangan dengan peraturan hukum
yang lebih tinggi derajatnya. Misalnya, Undang-Undang di Indonesia dibentuk
oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
b. Secara
Sosiologis:
Bilamana peraturan hukum tersebut diakui atau diterima
oleh masyarakat kepada siapa peraturan hukum tersebut
ditujukan/diberlakukan menurut “Anerkennungstheorie”, “The
recognition Theory”). Teori ini bertolak belakang dengan “Machttheorie”,
Power Theory”) yang menyatakan, bahwa peraturan hukum mempunyai kelakuan
sosiologis, apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa, diterima ataupun tidak
oleh warga masyarkat.
c. Secara
Filosofis:
Apabila peraturan hukum tersebut sesuai dengan
cita-cita hukum (rechtsidde) sebagai nilai positif yang tertinggi.
Dalam negara Indonesia, cita-cita hukum sebagai nilai positif yang
tertinggi adalah masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD
1945.
2. Faktor
Penegak Hukum
Secara sosiologi setiap penegak hukum tersebut
mempunyai kedudukan (status) atau peranan
(role). Kedudukan social merupakan posisi tertentu dalam struktur
masyarakat yang isinya adalah hak dan kewajiban. Penegakkan hukum dalam mengambil
keputusan diperlukan penilaian pribadi yang memegang peranan karena:
a.
Tidak ada perundingan undang-undang yang sedemikian
lengkap, sehingga dapat mengatur perilaku manusia.
b.
Adanya hambatan untuk menyelesaikan perundang-undangan
dengan perkembangan masyarakat sehingga menimbulkan ketidakpastian.
c.
Kurangnya biaya untuk menerapkan perundang-undangan.
d.
Adanya kasus-kasus individual yang memerlukan
penanganan khusus.
3.
Faktor sarana atau Fasilitas
Sarana atau fasilitas antara lain mencakup tenaga
manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang
memadai, keuangan yang cukup dan seterusnya. Kalau hal-hal itu tidak terpenuhi
maka mustahil penegak hukum akan mencapai tujuannya. Misalnya,
untuk membuktikan apakah suatu tanda tangan palsu atau tidak, kepolisian di
daerah tidak dapat mengetahui secara pasti, karena tidak mempunyai alat untuk
memeriksanya, sehingga terpaksa dikirim ke Jakarta. Dengan
demikian dapatlah disimpulkan, bahwa sarana atau fasilitas sangat menentukan
dalam penegak hukum. Tanpa sarana atau fasilitas yang memadai, penegak hukum
tidak akan dapat berjalan lancar, dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan
peranan yangg seharusnya.
4. Faktor
Masyarakat
Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan
semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik. Sebaliknya, semakin rendah
tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan
penegak hukum yang baik. Kesadaran hukum merupakan suatu pandangan yang hidup
dalam masyarakat tentang apa hukum itu. Pandangan itu berkembang dan
dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu agama, ekonomi, politik, dan sebagainya.
Pandangan itu selalu berubah, oleh karena itu hukum pun selalu berubah. Maka
diperlukan upaya dari kesadaran hukum, yakni:
a.
Pengetahuan hukum
b.
Pemahaman hukum
c.
Sikap terhadap norma-norma
d.
Perilaku hukum.
5. Faktor
Kebudayaan
Kebudayaan pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang
mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana yang merupakan konsepsi-konsepsi
yang abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dituruti) dan apa yang
dianggap buruk (sehinga dihindari). Maka, kebudayaan Indonesia merupakan dasar
atau mendasari hukum adat yang berlaku. Disamping itu berlaku pula hukum
tertulis (perundang-undangan), yang dibentuk oleh golongan tertentu dalam
masyarakat yang mempunyai kekuasaan dan wewenang untuk itu. Hukum perundang-undangan
tersebut harus dapat mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar dari hukum
adat, agar hukum perundang-undangan tersebut dapat berlaku secara aktif. Mengenai
berlakunya undang-undang tersebut, terdapat beberapa azas yang tujuannya adalah
agar undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif. Azas-azas tersebut
antara lain:
a.
Undang-undang tidak berlaku surut.
b.
Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih
tinggi.
c.
Mempunyai kedudukan yang lebih tinggi.
d.
Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan
undang-undang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama.
e.
Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan
undang-undang yang berlaku terdahulu.
2.3 LEMAHNYA PENEGAKAN HUKUM
DI INDONESIA
Belakangan ini, dapat terlihat bagaimana sebenarnya
keadaan penegakan hukum di Indonesia yang kian lama kian memburuk. Hal tersebut
dipicu oleh lemahnya penegakan hukum seperti pada kasus dana talangan Bank
Century, skandal Nazarudin, kasus Nunun Nurbaeti, kasus pegawai pajak Dhana
Widyatmaja hingga kasus pemerintah daerah Tanjung Jagung Timur yang hingga saat
ini belum terselesaikan.
Melalui hasil survei yang dilakukan oleh Lembaga
Survei Indonesia (LSI) diketahui bahwa persepsi publik terhadap kondisi politik
dan hukum di Indonesia terus memburuk. Salah satu sebab utama dari penurunan
persepsi publik terhadap kondisi politik dan penegakkan hukum di Indonesia
adalah kian maraknya kasus-kasus korupsi yang melibatkan para elite politik,
seperti kasus cek pelawat dan kasus dugaan suap Kementerian Pemuda dan Olahraga
dalam pembangunan Wisma Atlet SEA Games.
Penilaian buruk itu tidak hanya berdasarkan dari hasil
survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada pertengahan Desember
2011, tetapi publik juga menilai kinerja pemerintahan dalam pemberantasan
korupsi buruk atau sangat buruk dengan proporsi di bawah 50 persen. Padahal,
data longitudinal sejak 2005 sampai 2011 menunjukkan proporsi sikap positif
publik senantiasa lebih besar dalam isu penanggulangan korupsi yang pada
tahun-tahun sebelumnya menunjukan kinerja yang baik dengan mengungkap dan
menuntaskan kasus-kasus korupsi seperti Gayus yang saat ini sedang menjalankan
hukumannya.
Penanggung jawab penurunan kepercayaan publik ini
bukan hanya pemerintah, tetapi semua pihak yang secara langsung berkaitan
dengan penegakan hukum, seperti integritas lembaga penegak hukum, baik Polri,
Kejaksaan Agung, pengadilan termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Karena
apa yang dinilai buruk dalam demokrasi Indonesia berkaitan dengan tata kelola
pemerintahan, terutama dalam penegakan hukum (rule of law), dan pengawasan
terhadap korupsi.
Data Governance Indicator World Bank 2011 menunjukkan,
dalam sepuluh tahun terakhir demokrasi Indonesia tidak mengalami kemajuan
berarti dan masih tetap negatif. Dengan banyaknya kasus korupsi yang terjadi
dalam pemerintahan, kepastian hukum rendah, regulasi yang tidak berkualitas,
dan inefisiensi penyelenggaraan negara. Jika keadaan ini terus berlanjut,
kepercayaan publik terhadap penegakan hukum dan pemberantasan korupsi akan
menurun.
Sampai akhir tahun 2009, kinerja pemerintah dalam
memberantas korupsi sangat tinggi, yaitu mencapai angka 83,7 persen dimana
banyak kasus korupsi yang dapat terungkap dan terselesaikan. Namun, sejak
Januari atau 10 bulan terakhir terjadi penurunan kinerja pemerintah yang tajam
sampai 34 persen. Penurun kinerja para penegak hukum terlihat dari
beberapa kasus yang ditangani, seperti Bank Century, kasus cicak dan buaya,
atau kasus mafia hukum lainnya dan bahkan sangat terlihat dari munculnya kasus
suap ketua hakim untuk membebaskan satu pihak yang bersalah.
Adanya permainan politik juga menjadi faktor penyebab
munculnya berbagai kasus suap untuk melindungi para tindak pidana kelas kakap
untuk lepas dari jerat hukumnya. Kasus-kasus yang terjadi di Indonesia
sebenarnya hanya sebagian kecilnya dapat terungkap, untuk kasus-kasus yang
lebih besar belum dapat terungkap karena masih dilindungi oleh para tangan
kanannya yang terlebih dahulu terjerat kasus.
Lembaga penegak hukum seperti hakim pun kini dapat
dibayar untuk melepaskan para koruptor dari jerat hukumnya. Sedang kan untuk
rakyat biasa yang tidak berkecukupan di beri hukuman yang berat hanya karena
seorang nenek mencuri beberapa biji kopi dari perkebunan. Kasus ini sebenarnya
tidak layak untuk masuk ke dalam meja hijau. Hal ini mencerminkan bahwa penegak
hukum di Indonesia, sangat tidak bermutu karena tidak bisa memilah mana kasus
yang seharusnya masuk ke pengadilan dan mana kasus yang seharusnya dapat
di selesaikan secara manusiawi. Sungguh sangat ironis, jika menjabar
kasus-kasus seperti itu yang masih saja terjadi hingga saat ini.
Masyarakat juga menilai, hukuman terhadap koruptor
sejauh ini tidak adil. Rakyat umumnya menginginkan koruptor dihukum
seberat-beratnya, setidaknya dihukum seumur hidup, untuk menciptakan efek jera
dan tak akan tumbuh koruptor-koruptor yang baru yang berani mengambil uang
rakyatnya. salah satu aspek yang jarang dilihat dalam pemberantasan korupsi
adalah sistem pemenjaraan atau lembaga pemasyarakatan. Hukuman sosial juga
penting bagi terpidana koruptor agar berefek jera.
Penilaian yang buruk terhadap integritas lembaga
penegak hukum sebenarnya sudah tidak asing lagi. Lembaga survei lain, seperti
Transparency International, juga pernah menilai tingkat korupsi di Indonesia
yang semakin meningkat.
Untuk dapat mengatasi permasalahan tersebut salah
satunya adalah dengan mensinkronkan antara sistem, pembuat hukum dan
pelaksananya. Selain itu, dengan diterapkannya hukuman dengan memiskinkan para
terdakwa kasus mavia hukum. Sanksi ini bertujuan untuk para calon koruptor dan
terdakwa jera untuk melakukan korupsi. Karena apabila ketiga komponen utama
dalam hukum tersebut sudah sinkron, maka negara akan sembuh kembali seperti
semula.
Dari kasus di atas,
dapat digambarkan bagaimana sebenarnya keadaan penegakan hukum di Indonesia.
Maka perlu adanya strategi yang harus dilakukan agar kasus-kasus hukum dapat
diminimalisir, salah satunya dengan adanya transparansi penyidikan. Masalah
transparansi proses penyidikan sangat penting dilakukan untuk membangun
integritas lembaga penegak hukum yang bersih.
Tanpa adanya transparansi penyidikan, penyalahgunaan
kewenangan dan praktik koruptif mudah saja terjadi didalamnya. Oleh karena itu,
transparansi penyidikan dalam penegakan hukum perlu terus dibangun dan
dikembangkan untuk menjaga dan mengontrol integritas penegak hukum.
Tidak hanya transparansi penyidikan agar tidak terjadi
penyalahgunaan kewenangan dan praktik koruptif, tetapi untuk pencegah tindak
korupsi perlu diadakannya transparansi sistem pembayaran dalam pemerintahan
agar uang rakyat tidak masuk ke dalam kantong para pemilik kekuasaan. Dengan
dibuatnya sistem pembayaran pajak yang langsung masuk ke dalam kas negara tanpa
perantara pegawai pajak akan dapat meminimalisir kasus korupsi dalam institusi
perpajakan Indonesia.
2.4 UPAYA PENEGAKAN HUKUM
Menukik ke pembicaraan yang lebih konkrit,
ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah dalam
penegakan hukum. Di tingkat substansi hukum peraturan
perundang-undangan-pemerintah perlu mendorong pembentukan perangkat peraturan yang terkait dengan penegakan hukum dengan visi di atas. Misalnya saja, pembentukan
peraturan yang mewajibkan
prosedur teknis dalam melaksanakan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Juga, pemerintah, sebagai salah satu aparat pembentuk undang-undang, perlu berinisiatf membentuk undang-undang yang berkaitan dengan perbaikan institusi penegakan hukum: Pengadilan, Kejaksaan, dan Kepolisian. Di tingkat aparat, perlu ada kebijakan yang berkaitan dengan disiplin yang tinggi. Bukan hanya aparat penegak hukum yang langsung berkaitan dengan pengadilan tetapi seluruh aparat birokrasi pemerintah. Sebab penegakan hukum bukanlah hanya dilakukan di pengadilan tapi juga soal bagaimana menjalankan peraturan perundang-undangan secara konsisten, tanpa kolusi, korupsi, dan nepotisme. Dalam konteks “kultur” hukum, pemerintah perlu menjalankan kebijakan ke dua arah, yaitu kepada dirinya sendiri, dalam hal ini aparat birokrasi, dan kepada rakyat pengguna jasa penegakan hukum. Kultur ini bisa saja menjadi keluaran dari proses disiplin yang kuat yang menumbuhkan budaya penghormatan yang tinggi kepada hukum. Namun di samping itu, perlu juga dilakukan rangkaian kegiatan yang sistematis untuk mensosialisasikan hak dan kewajiban warga negara, agar muncul kesadaran politik dan hukum.
prosedur teknis dalam melaksanakan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Juga, pemerintah, sebagai salah satu aparat pembentuk undang-undang, perlu berinisiatf membentuk undang-undang yang berkaitan dengan perbaikan institusi penegakan hukum: Pengadilan, Kejaksaan, dan Kepolisian. Di tingkat aparat, perlu ada kebijakan yang berkaitan dengan disiplin yang tinggi. Bukan hanya aparat penegak hukum yang langsung berkaitan dengan pengadilan tetapi seluruh aparat birokrasi pemerintah. Sebab penegakan hukum bukanlah hanya dilakukan di pengadilan tapi juga soal bagaimana menjalankan peraturan perundang-undangan secara konsisten, tanpa kolusi, korupsi, dan nepotisme. Dalam konteks “kultur” hukum, pemerintah perlu menjalankan kebijakan ke dua arah, yaitu kepada dirinya sendiri, dalam hal ini aparat birokrasi, dan kepada rakyat pengguna jasa penegakan hukum. Kultur ini bisa saja menjadi keluaran dari proses disiplin yang kuat yang menumbuhkan budaya penghormatan yang tinggi kepada hukum. Namun di samping itu, perlu juga dilakukan rangkaian kegiatan yang sistematis untuk mensosialisasikan hak dan kewajiban warga negara, agar muncul kesadaran politik dan hukum.
2.5 ANGGARAN PENEGAKAN HUKUM
Masih dalam konteks kebijakan pemerintah, penegakan hukum inipun harus
didukung
pendanaan yang mencukupi oleh pemerintah serta, yang lebih penting lagi,
perencanaan pendanaan yang
memadai. Dalam kurun
waktu tiga tahun terakhir,
dana untuk sektor hukum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) meningkat dari tahun ke tahun. Namun, ada
beberapa permasalahan dalam hal
anggaran ini, seperti
diungkapkan dalam Kertas
Kerja Pembaruan Sistem Pengelolaan Keuangan Pengadilan yang disusun oleh
Mahkamah Agung bekerja sama dengan
Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP).
Dalam hal perencanaan dan pengajuan APBN, kelemahan internal
pengadilan yang berhasil diidentifikasi
antara lain: (i) ketiadaan parameter
yang obyektif dan argumentasi yang
memadai; (ii) proses
penyusunan yang tidak
partisipatif; (iii) ketidakprofesionalan pengadilan;
dan lain-lain (MA, 2003:
53-55).
Kebanyakan “perencanaan” dana
pemerintah untuk satu
tahun anggaran tidak dilakukan
berdasarkan
pengamatan yang menyeluruh berdasarkan
kebutuhan yang riil, melainkan menggunakan sistem “line
item budgeting” menggunakan metode penetapan
anggaran melalui pendeketan “incremental” (penyusunan anggaran hanya dilakukan dengan cara menaikkan jumlah tertentu
dari anggaran tahun lalu atau anggaran
yang sedang berjalan). Akibatnya, dalam pelaksanaan anggaran, muncul “kebiasaan”
untuk menghabiskan anggaran di
akhir tahun anggaran, tanpa memperhatikan
hasil dan kualitas dari anggaran yang digunakan (MA, 2003: 53-55)
Kertas Kerja tersebut merumuskan serangkaian
rekomendasi yang sangat teknis guna mengatasi
kelemahan-kelemahan tersebut. Kertas Kerja itu memang lebih banyak ditujukan untuk mempersiapkan
wewenang administrasi dan keuangan yang akan dipindahkan dari pemerintah ke Mahkamah Agung.
Meski begitu, setidaknya beberapa
rekomendasi yang sifatnya
umum dan sesuai
dengan arah kebijakan penegakan
hukum, seharusnya dapat diterapkan pula oleh pemerintah.
2.6 KEBIJAKAN YANG MENDESAK
Dalam jangka pendek, hal yang paling dekat yang bisa dilakukan pemerintah
untuk mendukung penegakan hukum misalnya
terkait dengan wewenang administrasi pengadilan
yang masih ada di tangan pemerintah hingga September 2004. Di sini, pemerintah
bisa memainkan peranan penting dalam mendisiplinkan hakim-hakim yang diduga
melakukan praktek korupsi dan kolusi. Selain itu, perlu ada dorongan dalam
pembentukan undang-undang yang berkaitan dengan pembenahan institusi
pengadilan. Seperti perubahan lima undang-undang yang berkaitan dengan sistem peradilan terpadu (integrated justice system),
yaitu UU Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, UU Peradilan Tata Usaha Negara, UU Mahkamah Agung, UU Peradilan Umum, dan UU Kejaksaan. Kelima
undang-undang ini tengah dibahas di DPR
oleh Badan Legislasi (lihat www.parlemen.net).
Sejauh perannya
bisa dimainkan dalam proses pembahasan kelima undang-undang ini, pemerintah perlu mendorong perbaikan institusi yang mengedepankan
pengadilan yang bersih dan independen. Begitu pula halnya dengan rencana
penyusunan UU tentang Komisi Yudisial
yang sudah disampaikan oleh Badan Legislasi DPR kepada pemerintah namun belum mendapatkan jawaban.
hal korupsi, yang tentunya berkaitan erat
dengan konsistensi penegakan hukum, pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
tengah dilaksanakan harus mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah.
Demikian juga dengan rencana pembentukan Pengadilan Khusus Korupsi
yang direncanakan terbentuk pada bulan
Juni 2004 (lihat Bappenas, Cetak Biru
Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi). Satu hal yang sama sekali
tidak boleh dilupakan adalah peran pemerintah dalam perbaikan institusi
kejaksaan dan kepolisian yang jelas berada di bawah wewenang pemerintah. Pada
saat ini Kejaksaan
tengah menyusun cetak
biru pembaruan kejaksaan dengan asistensi Komisi Hukum Nasional. Di
sini perlu ada dorongan politik yang
kuat agar cetak biru tersebut tersusun dengan baik dan, lebih penting lagi, dapat terlaksana dengan baik.
BAB 3
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil pembahasan pada BAB sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Pasal
27 ayat 1, menyatakan kesamaan kedudukan warganegara di dalam hukum dan
pemerintahan dan berkewajiban menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak
ada kecualinya. Hal ini menunjukkan adanya keseimbangan antara hak dan
kewajiban, dan tidak ada diskriminasi di antara warganegara baik mengenai
haknya maupun mengenai kewajibannya.
2. HAM
merupakan masalah yang sedang hangat dibicarakan, karena:
a. topik
HAM merupakan salah satu di antara tiga masalah utama yang menjadi keprihatinan
dunia. Ketiga topik yang memprihatinkan itu antara lain: HAM, demokratisasi dan
pelestarian lingkungan hidup.
b. Isu
HAM selalu diangkat oleh media massa setiap bulan Desember sebagai peringatan
diterimanya Piagam Hak Asasi Manusia oleh Sidang Umum PBB tanggal 10 Desember
1948.
c.
Masalah HAM secara khusus kadang dikaitkan
dengan hubungan bilateral antara negara donor dan penerima bantuan. Isu HAM
sering dijadikan alasan untuk penekanan secara ekonomis dan politis.
3. Setiap pelanggaran hak asasi manusia, baik itu berat ataupun
tidak, senantiasa menerbitkan kewajiban bagi negara untuk mengupayakan
penyelesaiannya. Penyelesaian tersebut bukan hanya penting bagi pemulihan
hak-hak korban, tetapi juga bagi tidak terulangnya pelanggaran serupa di masa
depan. Pendirian Pengadilan HAM Indonesia merupakan salahsatu wujud dari
tanggung jawab negara dalam penegakan dan perlindungan hak asasi manusia.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa masih terdapat banyak sekali kekurangan
dalam Pengadilan HAM, baik dari instrumen hukum, infrastruktur serta sumber
daya manusianya yang bermuara pada ketidakpastian hukum. Hal ini tentu saja
harus segera dibenahi selain untuk pengefektifan sistem hukum nasional
Indonesia, juga untuk meminimalkan adanya celah mekanisme Internasional untuk
mengintervensi penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia. Sehingga tidak
menutup kemungkinan dibentuknya Pengadilan HAM Internasional Ad hoc, jika Pengadilan HAM
Indonesia tidak terlaksana sesuai dengan standar internasional. Oleh karena itu,
perlu adanya political will dari
pemerintah serta adanya dukungan yang kuat dari masyarakat
3.2
Saran
1.
Pelanggaran HAM di Indonesia pada pasal
27 ayat 1 tentu masih banyak lagi. Ada
yang tidak terdeteksi sama sekali ada juga yang dibiarkan begitu saja. Pada
intinya hal itu membuktikan bahwa HAM
telah dijunjung tinggi oleh masyarakat dunia, sehingga peran warga negara
sangat penting dalam hal penegakan HAM di Indonesia.
2.
Sebaiknya setiap pasal yang telah dimuat
dalam UUD 1945 selalu dijadikan pedoman dalam menaati segala norma – norma dan
peraturann yang berlaku di Indonesia, sehingga hukum di Indonesia menjadi lebih
baik dan tidak ada kecacatan hukum yang terjadi yang dpaat merugikan bangsa dan
negara.
3.
Sebaiknya mahasiswa sebagai agen
perubahan ikut serta dalam upaya penegakkan dan pembelaan HAM di Indonesia
sehingga muncul pemimpin-peminpin muda di masa depan yang dapat menciptakan
persatuan dan kesatuan di negara maupun di dunia.
Komentar