PENDIDIKAN DAN KEWARGANEGARAAN



MAKALAH
PENDIDIKAN DAN KEWARGANEGARAAN
MASALAH KHUSUS: PASAL 27 AYAT 1 UUD 1945


Description: Description: Description: LOGO GUNADARMA.JPG
 






Disusun Oleh:
1.      Ayu Fatimah Zahra
2.      Era Agita Kabdiyono
3.      Ervina Yuliyanti
4.      Yan Dhuan Y.



Kelas: SMSTS05-2011B
Dosen : Emiliashah Banowo

JURUSAN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
UNIVERSITAS GUNADARMA
2013



BAB 1
PENDAHULUAN

1.1                   LATAR BELAKANG
“Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Pernyataan ini terdapat dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 3. Negara hukum bersandar pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang adil dan baik. Hukum yang adil dan baik harus dijunjung tinggi oleh seluruh warga negara Indonsia, seperti yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 1 yang berbunyi: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan  pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal ini mengandung dua makna, yaitu hak dan kewajiban sebagai warga negara. Hak yang dimaksud adalah hak untuk mendapat perlakuan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan, sedangkan kewajibannya adalah menjunjung hukum dan pemerintahan. Dalam pasal 27 ayat 1 terdapat kalimat “..tidak ada kecualinya”, maksudnya hak untuk mendapat perlakuan yang sama di mata hukum dan menjunjung tinggi hukum adalah berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia.
Namun, pasal hanyalah pasal. Sebuah aturan tertulis yang saat ini masih banyak dilanggar oleh masyarakat dan pemerintah itu sendiri. Banyak sekali pihak yang belum menjalankan konstitusi dengan baik, salah satunya adalah dalam hak dan kewajiban pasal 27 ayat 1 UUD 1945.  Fenomena yang terjadi adalah  masyarakat Indonesia sedang mengalami krisis kepatuhan hukum. Saat ini hukum bisa dibayar dengan uang dan jabatan. Inilah Indonesia, hukum sepertinya tak pernah berpihak kepada rakyat kecil yang tak memiliki daya dan upaya untuk memperjuangkan haknya di depan hukum.  Padahal setiap manusia memiliki hak yang mutlak dalam dirinya, yaitu Hak Asasi Manusia yang salah satunya adalah hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum serta kewajiban menjunjung tinggi hukum yang berlaku.

1.2                   RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah pada penulisan ini adalah sebagai berikut:
1.      Apakah makna yang terkandung dalam pasal 27 ayat 1 UUD 1945?
2.      Bagaimana ruang lingkup permasalahan yang berhubungan dengan pasal 27 ayat 1 UUD 1945?
3.      Bagaimana solusi terhadap permasalahan yang berhubungan dengan pasal 27 ayat 1 UUD 1945?

1.3                   BATASAN MASALAH
Masalah HAM merupakan masalah yang kompleks, setidak-tidaknya ada tiga masalah utama yang harus dicermati dalam membahas masalah HAM, antara lain: Pertama, HAM merupakan masalah yang sedang hangat dibicarakan, karena (1) topik HAM merupakan salah satu di antara tiga masalah utama yang menjadi keprihatinan dunia. Ketiga topik yang memprihatinkan itu antara lain: HAM, demokratisasi dan pelestarian lingkungan hidup. Dalam hal ini segala sesuatu tentang ketentuan HAM telah tersirat dalam pasal 27, pasal 28, pasal 29, pasal 30 dan pasal 31 UUD tahun 1945., oleh karena itu penulis memberikan batasan masalah hanya pada satu pasal, yaitu pasal 27 ayat 1 UUD 1945 yang menjadi aspke utama dalam pembahasan HAM.

1.4                   TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan ini diantaranya:
1.      Mengetahui makna dari pasal 27 ayat 1 UUD 1945.
2.      Mengetahui masalah yang terjadi di masyarakat akibat penyimpangan pasal 27 ayat 1 UUD 1945.
3.      Memberi solusi terhadap masalah yang terjadi agar hak dan kewajiban masyarakat dapat terpenuhi.
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1         PASAL 27 AYAT 1 UUD 1945
Pasal 27 ayat (1) : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Pasal 27 ayat 1, menyatakan kesamaan kedudukan warganegara di dalam hukum dan pemerintahan dan berkewajiban menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Hal ini menunjukkan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban, dan tidak ada diskriminasi di antara warganegara baik mengenai haknya maupun mengenai kewajibannya.
Hak asasi manusia menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, adalah hak yang melekat pada manusia, sejak manusia dilahirkan.Dengan demikian eksistensi hak asasi manusia dipandang sebagai aksioma yang bersifat given, dalam arti kebenarannya seyogianya dapat dirasakan secara langsung dan tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut (Anhar Gonggong, dkk., 1995: 60).

2.2         PENEGAKAN HUKUM
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Proses pengakan hukum itu sendiri bisa ditinjau dari sudut subyeknya dan dari sudut obyeknya.
1.             Ditinjau dari sudut subyeknya:
a.              Dalam arti luas, proses penegakkan hukum melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum.
b.             Dalam arti sempit, penegakkan hukum hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya.
2.             Ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya:
a.              Dalam arti luas, penegakkan hukum yang mencakup pada nilai-nilai keadilan yang di dalamnya terkandung bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang ada dalam bermasyarakat.
b.             Dalam arti sempit, penegakkan hukum itu hanya menyangkut penegakkan peraturan yang formal dan tertulis.

Hukum dapat tercipta bila masyarakat sadar akan hukum tanpa membuat kerugian pada orang lain. Penegakkan Hukum di Indonesia tidak terlepas dari peran para aparat penegak hukum. Menurut Pasal 1 Bab 1 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang dimaksud aparat penehak hukum oleh undang-undang ini adalah sebagai berikut:
1.             Penyelidik ialah pejabat polisi negara Repulik Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberikan wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikkan.
2.             Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh hukum tetap.
3.             Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan ketetapan hakim.
4.             Hakim yaitu pejabat peradilan Negara yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk mengadili.
5.             Penasehat hukum ialah seseorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh undang-undang untuk memeberikan bantuan hukum.

Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang teribat dalam proses tegaknya hukum, dimulai dari saksi, polisi, penasehat hkum, jaksa, hakim dan petugas sipil pemasyarakatan. Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum, terdapat tiga elemen penting yang mempengaruhi, yaitu:
a.              Institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya.
b.             Budaya kerja yang terkait dengan aparatnya termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya.
c.              Perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaanya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materiilnya maupun hukum acaranya.

Menurut Soerjono Soekanto faktor-faktor  yang mempengaruhi penegakkan hukum sebagai berikut:
1.             Faktor hukumnya sendiri
Semakin baik suatu peraturan hukum akan semakin baik memungkinkan penegakannya. Sebaliknya, semakin tidak baik suatu peraturan hukum akan semakin sukarlah menegakkannya. Secara umum, peraturan hukum yang baik adalah peraturan hukum yang berlaku secara yuridis, sosiologis dan filosofis.
a.              Secara Yuridis:
Setiap peraturan hukum yang berlaku haruslah bersumber pada peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. Ini berarti bahwa setiap peraturan hukum yang berlaku tidak boleh bertentangan dengan peraturan hukum yang lebih tinggi derajatnya. Misalnya, Undang-Undang di Indonesia dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
b.             Secara Sosiologis:
Bilamana peraturan hukum tersebut diakui atau diterima oleh masyarakat kepada siapa peraturan hukum tersebut ditujukan/diberlakukan menurut “Anerkennungstheorie”, “The recognition Theory”). Teori ini bertolak belakang dengan “Machttheorie”, Power Theory”) yang menyatakan, bahwa peraturan hukum mempunyai kelakuan sosiologis, apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa, diterima ataupun tidak oleh warga masyarkat.
c.              Secara Filosofis:
Apabila peraturan hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum (rechtsidde) sebagai nilai positif yang tertinggi. Dalam negara Indonesia, cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi adalah masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
2.             Faktor Penegak Hukum
Secara sosiologi setiap penegak hukum tersebut mempunyai  kedudukan (status) atau peranan (role).  Kedudukan social merupakan posisi tertentu dalam struktur masyarakat yang isinya adalah hak dan kewajiban. Penegakkan hukum dalam mengambil keputusan diperlukan penilaian pribadi yang memegang peranan karena:
a.              Tidak ada perundingan undang-undang yang sedemikian lengkap, sehingga dapat mengatur perilaku manusia.
b.              Adanya hambatan untuk menyelesaikan perundang-undangan dengan perkembangan masyarakat sehingga menimbulkan ketidakpastian.
c.               Kurangnya biaya untuk menerapkan perundang-undangan.
d.              Adanya kasus-kasus individual yang memerlukan penanganan khusus.
3.             Faktor sarana atau Fasilitas
Sarana atau fasilitas antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seterusnya. Kalau hal-hal itu tidak terpenuhi maka mustahil penegak hukum akan mencapai tujuannya. Misalnya, untuk membuktikan apakah suatu tanda tangan palsu atau tidak, kepolisian di daerah tidak dapat mengetahui secara pasti, karena tidak mempunyai alat untuk memeriksanya, sehingga terpaksa dikirim ke Jakarta. Dengan demikian dapatlah disimpulkan, bahwa sarana atau fasilitas sangat menentukan dalam penegak hukum. Tanpa sarana atau fasilitas yang memadai, penegak hukum tidak akan dapat berjalan lancar, dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan peranan yangg seharusnya.
4.             Faktor Masyarakat
Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik. Sebaliknya, semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan penegak hukum yang baik. Kesadaran hukum merupakan suatu pandangan yang hidup dalam masyarakat tentang apa hukum itu. Pandangan itu berkembang dan dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu agama, ekonomi, politik, dan sebagainya. Pandangan itu selalu berubah, oleh karena itu hukum pun selalu berubah. Maka diperlukan upaya dari kesadaran hukum, yakni:
a.              Pengetahuan hukum
b.             Pemahaman hukum
c.              Sikap terhadap norma-norma
d.             Perilaku hukum.
5.             Faktor Kebudayaan
Kebudayaan pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana yang merupakan konsepsi-konsepsi yang abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dituruti) dan apa yang dianggap buruk (sehinga dihindari). Maka, kebudayaan Indonesia merupakan dasar atau mendasari hukum adat yang berlaku. Disamping itu berlaku pula hukum tertulis (perundang-undangan), yang dibentuk oleh golongan tertentu dalam masyarakat yang mempunyai kekuasaan dan wewenang untuk itu. Hukum perundang-undangan tersebut harus dapat mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar dari hukum adat, agar hukum perundang-undangan tersebut dapat berlaku secara aktif. Mengenai berlakunya undang-undang tersebut, terdapat beberapa azas yang tujuannya adalah agar undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif. Azas-azas tersebut antara lain:
a.              Undang-undang tidak berlaku surut.
b.             Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi.
c.              Mempunyai kedudukan yang lebih tinggi.
d.             Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama.
e.              Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu.

2.3         LEMAHNYA PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA
Belakangan ini, dapat terlihat bagaimana sebenarnya keadaan penegakan hukum di Indonesia yang kian lama kian memburuk. Hal tersebut dipicu oleh lemahnya penegakan hukum seperti pada kasus dana talangan Bank Century, skandal Nazarudin, kasus Nunun Nurbaeti, kasus pegawai pajak Dhana Widyatmaja hingga kasus pemerintah daerah Tanjung Jagung Timur yang hingga saat ini belum terselesaikan.
Melalui hasil survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) diketahui bahwa persepsi publik terhadap kondisi politik dan hukum di Indonesia terus memburuk. Salah satu sebab utama dari penurunan persepsi publik terhadap kondisi politik dan penegakkan hukum di Indonesia adalah kian maraknya kasus-kasus korupsi yang melibatkan para elite politik, seperti kasus cek pelawat dan kasus dugaan suap Kementerian Pemuda dan Olahraga dalam pembangunan Wisma Atlet SEA Games.
Penilaian buruk itu tidak hanya berdasarkan dari hasil survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada pertengahan Desember 2011, tetapi publik juga menilai kinerja pemerintahan dalam pemberantasan korupsi buruk atau sangat buruk dengan proporsi di bawah 50 persen. Padahal, data longitudinal sejak 2005 sampai 2011 menunjukkan proporsi sikap positif publik senantiasa lebih besar dalam isu penanggulangan korupsi yang pada tahun-tahun sebelumnya menunjukan kinerja yang baik dengan mengungkap dan menuntaskan kasus-kasus korupsi seperti Gayus yang saat ini sedang menjalankan hukumannya.
Penanggung jawab penurunan kepercayaan publik ini bukan hanya pemerintah, tetapi semua pihak yang secara langsung berkaitan dengan penegakan hukum, seperti integritas lembaga penegak hukum, baik Polri, Kejaksaan Agung, pengadilan termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Karena apa yang dinilai buruk dalam demokrasi Indonesia berkaitan dengan tata kelola pemerintahan, terutama dalam penegakan hukum (rule of law), dan pengawasan terhadap korupsi.
Data Governance Indicator World Bank 2011 menunjukkan, dalam sepuluh tahun terakhir demokrasi Indonesia tidak mengalami kemajuan berarti dan masih tetap negatif. Dengan banyaknya kasus korupsi yang terjadi dalam pemerintahan, kepastian hukum rendah, regulasi yang tidak berkualitas, dan inefisiensi penyelenggaraan negara. Jika keadaan ini terus berlanjut, kepercayaan publik terhadap penegakan hukum dan pemberantasan korupsi akan menurun.
Sampai akhir tahun 2009, kinerja pemerintah dalam memberantas korupsi sangat tinggi, yaitu mencapai angka 83,7 persen dimana banyak kasus korupsi yang dapat terungkap dan terselesaikan. Namun, sejak Januari atau 10 bulan terakhir terjadi penurunan kinerja pemerintah yang tajam sampai 34 persen.  Penurun kinerja para penegak hukum terlihat dari beberapa kasus yang ditangani, seperti Bank Century, kasus cicak dan buaya, atau kasus mafia hukum lainnya dan bahkan sangat terlihat dari munculnya kasus suap ketua hakim untuk membebaskan satu pihak yang bersalah.
Adanya permainan politik juga menjadi faktor penyebab munculnya berbagai kasus suap untuk melindungi para tindak pidana kelas kakap untuk lepas dari jerat hukumnya. Kasus-kasus yang terjadi di Indonesia sebenarnya hanya sebagian kecilnya dapat terungkap, untuk kasus-kasus yang lebih besar belum dapat terungkap karena masih dilindungi oleh para tangan kanannya yang terlebih dahulu terjerat kasus.
Lembaga penegak hukum seperti hakim pun kini dapat dibayar untuk melepaskan para koruptor dari jerat hukumnya. Sedang kan untuk rakyat biasa yang tidak berkecukupan di beri hukuman yang berat hanya karena seorang nenek mencuri beberapa biji kopi dari perkebunan. Kasus ini sebenarnya tidak layak untuk masuk ke dalam meja hijau. Hal ini mencerminkan bahwa penegak hukum di Indonesia, sangat tidak bermutu karena tidak bisa memilah mana kasus yang seharusnya masuk ke pengadilan dan mana kasus yang seharusnya dapat  di selesaikan secara manusiawi. Sungguh sangat ironis, jika menjabar kasus-kasus seperti itu yang masih saja terjadi hingga saat ini.
Masyarakat juga menilai, hukuman terhadap koruptor sejauh ini tidak adil. Rakyat umumnya menginginkan koruptor dihukum seberat-beratnya, setidaknya dihukum seumur hidup, untuk menciptakan efek jera dan tak akan tumbuh koruptor-koruptor yang baru yang berani mengambil uang rakyatnya. salah satu aspek yang jarang dilihat dalam pemberantasan korupsi adalah sistem pemenjaraan atau lembaga pemasyarakatan. Hukuman sosial juga penting bagi terpidana koruptor agar berefek jera.
Penilaian yang buruk terhadap integritas lembaga penegak hukum sebenarnya sudah tidak asing lagi. Lembaga survei lain, seperti Transparency International, juga pernah menilai tingkat korupsi di Indonesia yang semakin meningkat.
Untuk dapat mengatasi permasalahan tersebut salah satunya adalah dengan mensinkronkan antara sistem, pembuat hukum dan pelaksananya. Selain itu, dengan diterapkannya hukuman dengan memiskinkan para terdakwa kasus mavia hukum. Sanksi ini bertujuan untuk para calon koruptor dan terdakwa jera untuk melakukan korupsi. Karena apabila ketiga komponen utama dalam hukum tersebut sudah sinkron, maka negara akan sembuh kembali seperti semula.
     Dari kasus di atas, dapat digambarkan bagaimana sebenarnya keadaan penegakan hukum di Indonesia. Maka perlu adanya strategi yang harus dilakukan agar kasus-kasus hukum dapat diminimalisir, salah satunya dengan adanya transparansi penyidikan. Masalah transparansi proses penyidikan sangat penting dilakukan untuk membangun integritas lembaga penegak hukum yang bersih.
Tanpa adanya transparansi penyidikan, penyalahgunaan kewenangan dan praktik koruptif mudah saja terjadi didalamnya. Oleh karena itu, transparansi penyidikan dalam penegakan hukum perlu terus dibangun dan dikembangkan untuk menjaga dan mengontrol integritas penegak hukum.
Tidak hanya transparansi penyidikan agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan dan praktik koruptif, tetapi untuk pencegah tindak korupsi perlu diadakannya transparansi sistem pembayaran dalam pemerintahan agar uang rakyat tidak masuk ke dalam kantong para pemilik kekuasaan. Dengan dibuatnya sistem pembayaran pajak yang langsung masuk ke dalam kas negara tanpa perantara pegawai pajak akan dapat meminimalisir kasus korupsi dalam institusi perpajakan Indonesia.

2.4         UPAYA PENEGAKAN HUKUM
Menukik ke pembicaraan yang lebih konkrit, ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah dalam penegakan hukum. Di tingkat substansi hukum peraturan perundang-undangan-pemerintah perlu mendorong pembentukan perangkat  peraturan yang terkait dengan penegakan hukum dengan visi di atas. Misalnya saja, pembentukan peraturan yang mewajibkan
prosedur teknis dalam melaksanakan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Juga, pemerintah, sebagai salah satu aparat pembentuk undang-undang, perlu berinisiatf membentuk undang-undang yang berkaitan dengan perbaikan institusi penegakan hukum: Pengadilan, Kejaksaan, dan Kepolisian. Di tingkat aparat, perlu ada kebijakan yang berkaitan dengan disiplin yang tinggi. Bukan hanya aparat penegak hukum yang langsung berkaitan dengan pengadilan tetapi  seluruh  aparat  birokrasi  pemerintah.  Sebab  penegakan  hukum  bukanlah hanya dilakukan di pengadilan tapi juga soal bagaimana menjalankan peraturan perundang-undangan secara konsisten, tanpa kolusi, korupsi, dan nepotisme. Dalam konteks “kultur” hukum, pemerintah perlu menjalankan kebijakan ke dua arah, yaitu kepada dirinya sendiri, dalam hal ini aparat birokrasi, dan kepada rakyat pengguna jasa penegakan hukum. Kultur ini bisa saja menjadi keluaran dari proses disiplin yang kuat yang menumbuhkan budaya penghormatan yang tinggi kepada hukum.  Namun  di  samping  itu,  perlu  juga  dilakukan  rangkaian  kegiatan  yang sistematis untuk mensosialisasikan hak dan kewajiban warga negara, agar muncul kesadaran politik dan hukum.
2.5       ANGGARAN PENEGAKAN HUKUM
Masih dalam konteks  kebijakan pemerintah, penegakan hukum inipun harus didukung pendanaan yang mencukupi oleh pemerintah serta, yang lebih penting lagi, perencanaan  pendanaan  yang  memadai.  Dalam  kurun  waktu  tiga  tahun  terakhir, dana untuk sektor hukum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara  (APBN) meningkat dari tahun ke tahun. Namun, ada beberapa permasalahan dalam  hal  anggaran  ini,  seperti  diungkapkan  dalam  Kertas  Kerja  Pembaruan Sistem Pengelolaan Keuangan Pengadilan yang disusun oleh Mahkamah Agung bekerja sama dengan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP).
Dalam hal perencanaan dan pengajuan APBN, kelemahan internal pengadilan yang berhasil diidentifikasi antara lain: (i)  ketiadaan  parameter  yang  obyektif dan argumentasi  yang  memadai;  (ii) proses penyusunan  yang  tidak  partisipatif;  (iii) ketidakprofesionalan  pengadilan;  dan  lain-lain (MA,  2003:  53-55). 
Kebanyakan “perencanaan”  dana  pemerintah  untuk  satu  tahun  anggaran  tidak  dilakukan berdasarkan pengamatan  yang menyeluruh berdasarkan kebutuhan yang riil, melainkan  menggunakan  sistem “line item budgeting” menggunakan metode penetapan anggaran melalui pendeketan “incremental” (penyusunan anggaran hanya dilakukan dengan cara menaikkan jumlah tertentu dari anggaran tahun lalu atau anggaran yang sedang berjalan). Akibatnya, dalam pelaksanaan anggaran, muncul “kebiasaan”  untuk  menghabiskan anggaran di akhir tahun anggaran, tanpa memperhatikan hasil dan kualitas dari anggaran yang digunakan (MA, 2003: 53-55)

Kertas Kerja tersebut merumuskan serangkaian rekomendasi yang sangat teknis guna mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut. Kertas Kerja itu memang lebih banyak ditujukan untuk mempersiapkan wewenang administrasi dan keuangan yang akan dipindahkan dari pemerintah  ke  Mahkamah  Agung.  Meski begitu, setidaknya beberapa  rekomendasi  yang  sifatnya  umum  dan  sesuai  dengan arah kebijakan penegakan hukum, seharusnya dapat diterapkan pula oleh pemerintah. 

2.6       KEBIJAKAN YANG MENDESAK
Dalam jangka pendek, hal yang paling dekat yang bisa dilakukan pemerintah untuk mendukung penegakan hukum misalnya terkait dengan wewenang administrasi pengadilan yang masih ada di tangan pemerintah hingga September 2004. Di sini, pemerintah bisa memainkan peranan penting dalam mendisiplinkan hakim-hakim yang diduga melakukan praktek korupsi dan kolusi. Selain itu, perlu ada dorongan dalam pembentukan undang-undang yang berkaitan dengan pembenahan institusi pengadilan. Seperti perubahan lima undang-undang yang berkaitan dengan sistem peradilan terpadu (integrated justice system), yaitu UU Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU Peradilan Tata Usaha Negara, UU Mahkamah Agung, UU Peradilan Umum, dan UU Kejaksaan. Kelima undang-undang ini tengah dibahas di  DPR  oleh  Badan  Legislasi (lihat  www.parlemen.net).
 Sejauh perannya bisa dimainkan dalam proses pembahasan kelima undang-undang ini, pemerintah perlu mendorong perbaikan institusi yang mengedepankan pengadilan yang bersih dan independen. Begitu pula halnya dengan rencana penyusunan UU tentang Komisi Yudisial yang sudah disampaikan oleh Badan Legislasi DPR kepada pemerintah namun belum mendapatkan jawaban.

hal korupsi, yang tentunya berkaitan erat dengan konsistensi penegakan hukum, pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang tengah dilaksanakan harus mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah.
Demikian juga dengan rencana pembentukan Pengadilan Khusus Korupsi yang direncanakan terbentuk  pada  bulan  Juni 2004 (lihat  Bappenas, Cetak  Biru  Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi). Satu hal yang sama sekali tidak boleh dilupakan adalah peran pemerintah dalam perbaikan institusi kejaksaan dan kepolisian yang jelas berada di bawah wewenang pemerintah.  Pada  saat  ini  Kejaksaan  tengah  menyusun  cetak  biru  pembaruan kejaksaan dengan asistensi Komisi Hukum Nasional. Di sini perlu ada dorongan politik yang kuat agar cetak biru tersebut tersusun dengan baik dan, lebih penting lagi, dapat terlaksana dengan baik.




BAB 3
PENUTUP
3.1                 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan pada BAB sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa:
1.      Pasal 27 ayat 1, menyatakan kesamaan kedudukan warganegara di dalam hukum dan pemerintahan dan berkewajiban menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Hal ini menunjukkan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban, dan tidak ada diskriminasi di antara warganegara baik mengenai haknya maupun mengenai kewajibannya.
2.      HAM merupakan masalah yang sedang hangat dibicarakan, karena:
a.       topik HAM merupakan salah satu di antara tiga masalah utama yang menjadi keprihatinan dunia. Ketiga topik yang memprihatinkan itu antara lain: HAM, demokratisasi dan pelestarian lingkungan hidup.
b.      Isu HAM selalu diangkat oleh media massa setiap bulan Desember sebagai peringatan diterimanya Piagam Hak Asasi Manusia oleh Sidang Umum PBB tanggal 10 Desember 1948.
c.       Masalah HAM secara khusus kadang dikaitkan dengan hubungan bilateral antara negara donor dan penerima bantuan. Isu HAM sering dijadikan alasan untuk penekanan secara ekonomis dan politis.
3.      Setiap pelanggaran hak asasi manusia, baik itu berat ataupun tidak, senantiasa menerbitkan kewajiban bagi negara untuk mengupayakan penyelesaiannya. Penyelesaian tersebut bukan hanya penting bagi pemulihan hak-hak korban, tetapi juga bagi tidak terulangnya pelanggaran serupa di masa depan. Pendirian Pengadilan HAM Indonesia merupakan salahsatu wujud dari tanggung jawab negara dalam penegakan dan perlindungan hak asasi manusia. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa masih terdapat banyak sekali kekurangan dalam Pengadilan HAM, baik dari instrumen hukum, infrastruktur serta sumber daya manusianya yang bermuara pada ketidakpastian hukum. Hal ini tentu saja harus segera dibenahi selain untuk pengefektifan sistem hukum nasional Indonesia, juga untuk meminimalkan adanya celah mekanisme Internasional untuk mengintervensi penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia. Sehingga tidak menutup kemungkinan dibentuknya Pengadilan HAM Internasional Ad hoc, jika Pengadilan HAM Indonesia tidak terlaksana sesuai dengan standar internasional. Oleh karena itu, perlu adanya political will dari pemerintah serta adanya dukungan yang kuat dari masyarakat

3.2                   Saran
1.                       Pelanggaran HAM di Indonesia pada pasal 27 ayat 1 tentu masih banyak  lagi. Ada yang tidak terdeteksi sama sekali ada juga yang dibiarkan begitu saja. Pada intinya hal itu  membuktikan bahwa HAM telah dijunjung tinggi oleh masyarakat dunia, sehingga peran warga negara sangat penting dalam hal penegakan HAM di Indonesia.
2.                       Sebaiknya setiap pasal yang telah dimuat dalam UUD 1945 selalu dijadikan pedoman dalam menaati segala norma – norma dan peraturann yang berlaku di Indonesia, sehingga hukum di Indonesia menjadi lebih baik dan tidak ada kecacatan hukum yang terjadi yang dpaat merugikan bangsa dan negara.
3.                       Sebaiknya mahasiswa sebagai agen perubahan ikut serta dalam upaya penegakkan dan pembelaan HAM di Indonesia sehingga muncul pemimpin-peminpin muda di masa depan yang dapat menciptakan persatuan dan kesatuan di negara maupun di dunia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

IMPLEMENTASI PANCASILA DALAM BIDANG TEKNIK SIPIL

PENGARUH EKSENTRISITAS BEBAN TERHADAP DAYA DUKUNG PONDASI DANGKAL

ISD - Part 7