GEPENG


Istilah “gepeng” merupakan singkatan dari kata gelandangan dan pengemis. Menurut Departemen Sosial R.I (1992), gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum.
“Pengemis” adalah orang-orang yang mendapat penghasilan dari meminta-minta di muka umum dengan berbagai alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang.
Ali, dkk,. (1990) menyatakan bahwa gelandangan berasal dari gelandang yang berarti selalu mengembara, atau berkelana (lelana). Mengutip pendapatnya Wirosardjono maka Ali, dkk., (1990) juga menyatakan bahwa gelandangan merupakan lapisan sosial, ekonomi dan budaya paling bawah dalam stratifikasi masyarakat kota. Dengan strata demikian maka gelandangan merupakan orang-orang yang tidak mempunyai tempat tinggal atau rumah dan pekerjaan yang tetap atau layak, berkeliaran di dalam kota, makan-minum serta tidur di sembarang tempat.
Menurut Muthalib dan Sudjarwo dalam Ali, dkk., (1990) diberikan tiga gambaran umum gelandangan, yaitu (1) sekelompok orang miskin atau dimiskinkan oleh masyaratnya, (2) orang yang disingkirkan dari kehidupan khalayak ramai, dan (3) orang yang berpola hidup agar mampu bertahan dalam kemiskinan dan keterasingan.
            Dengan mengutip definisi operasional Sensus Penduduk maka gelandangan terbatas pada mereka yang tidak memiliki tempat tinggal yang tetap, atau tempat tinggal tetapnya tidak berada pada wilayah pencacahan. Karena wilayah pencacahan telah habis membagi tempat hunian rumah tinggal yang lazim maka yang dimaksud dengan gelandangan dalam hal ini adalah orang-orang yang bermukim pada daerahdaerah bukan tempat tinggal tetapi merupakan konsentrasi hunian orang-orang seperti di bawah jembatan, kuburan, pinggiran sungai, emper toko, sepanjang rel kereta api, taman, pasar, dan konsentrasi hunian gelandangan yang lain.
            Pengertian gelandangan tersebut memberikan pengertian bahwa mereka termasuk golongan yang mempunyai kedudukan lebih terhormat daripada pengemis. Gelandangan pada umumnya mempunyai pekerjaan tetapi tidak memiliki tempat tinggal yang tetap (berpindahpindah). Sebaliknya pengemis hanya mengharapkan belas kasihan orang lain serta tidak tertutup kemungkinan golongan ini mempunyai tempat tinggal yang tetap.
            Ali, dkk., (1990) juga menggambarkan mata pencaharian gelandangan di Kartasura seperti pemulung, peminta-minta, tukang semir sepatu, tukang becak, penjaja makanan, dan pengamen. Tampaknya pemulung dan pemintaminta yang mendominasi gelandangan di Kartasuro.
            Beberapa ahli menggolongkan gelandangan dan pengemis termasuk ke dalam golongan sektor informal. Keith Harth (1973) mengemukakan bahwa dari kesempatan memperoleh penghasilan yang sah, pengemis dan gelandangan termasuk pekerja sector informal. Sementara itu, Jan Breman (1980) mengusulkan agar dibedakan tiga kelompok pekerja dalam analisis  kota, yaitu (1) kelompok yang berusaha sendiri dengan modal dan memiliki ketrampilan; (2) kelompok buruh pada usaha kecil dan kelompok yang berusaha sendiri dengan modal sangat sedikit atau bahkan tanpa modal; dan (3) kelompok miskin yang kegiatannya mirip gelandangan dan pengemis. Kelompok kedua dan ketigalah yang paling banyak di kota dunia ketiga. Ketiga kelompok ini masuk ke dalam golongan pekerja sektor informal.
            Beberapa ahli menggolongkan gelandangan dan pengemis termasuk ke dalam golongan sektor informal. Keith Harth (1973) mengemukakan bahwa dari kesempatan memperoleh penghasilan yang sah, pengemis dan gelandangan termasuk pekerja sector informal. Sementara itu, Jan Breman (1980) mengusulkan agar dibedakan tiga kelompok pekerja dalam analisis terhadap kelas sosial di kota, yaitu (1) kelompok yang berusaha sendiri dengan modal dan memiliki ketrampilan; (2) kelompok buruh pada usaha kecil dan kelompok yang berusaha sendiri dengan modal sangat sedikit atau bahkan tanpa modal; dan (3) kelompok miskin yang kegiatannya mirip gelandangan dan pengemis. Kelompok kedua dan ketigalah yang paling banyak di kota dunia ketiga. Ketiga kelompok ini masuk ke dalam golongan pekerja sektor informal.
            Teori-teori pembangunan ekonomi sesudah Perang Dunia II menyatakan bahwa urbanisasi merupakan suatu prasyarat bagi modernisasi dan pembangunan ekonomi. Tetapi besarnya arus migrasi dari desa ke kota di luar dugaan, dan tidak berkurang secara berangsurangsur setelah beberapa waktu sesuai dengan yang diperkirakan dalam teori-teori ekonomi. Migrasi yang pesat berlangsung terus karenatingkat pertumbuhan penduduk di daerah pedesaan tetap tinggi, kemiskinan di desa semakin meningkat dan upah serta pendapatan di kota lebih tinggi dibandingkan dengan keadaan di pasar bebas. Sedemikian kuatnya faktor pendorong dan penarik ini, sehingga tingkat migrasi tidak dipengaruhi oleh pertumbuhan dan tingginya tingkat pengangguran dan setengah pengangguran di kota (Todaro dan Stilkind, 1981). Menurut Effen mendapatkan dan menaikan penghasilan mereka.
            Jadi dorongan kemiskinan di desa dan daya tarik pendapatan di kota mengakibatkan gejala urbanisasi berlebih, yang sejumlah orang (yang belum pernah terjadi sebelumnya) menyerbu ke kota, sehingga kota menjadi terlalu besar dan tumbuh terlalu pesat. Di dalam proses selanjutnya, timbulah masalah-masalah social yang sangat besar dan mereka banyak terlibat dalam kegiatan sektor informal perkotaan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

IMPLEMENTASI PANCASILA DALAM BIDANG TEKNIK SIPIL

PENGARUH EKSENTRISITAS BEBAN TERHADAP DAYA DUKUNG PONDASI DANGKAL

ISD - Part 7