LANGIT FAJAR


LANGIT FAJAR

Aku ingin pergi ke dunia itu dimana aku belum menjajaki tempatnya. Langit di negriku biru, tapi serasa ada langit baru disana. Aku ingin menciptakan mimpi yang selama ini terpendam dalam sanubariku. Bisakah aku menemukan jawaban dari semua pertanyaanku?
Aku punya impian yang begitu besar melebihi apa yang aku mampu. Aku punya harapan yang begitu besar melebihi harapan kedua orangtuaku. Aku memiliki imajinasi yang begitu kuat melebihi imajinasi sang penyair. Kehidupanku penuh dengan baying-bayang semu. Ketika aku terdiam dikeheningan dunia yang gelap dan dihiasi oleh bintang-bintang, disitulah aku kuatkan mimpiku.
Semua orang mencemoohku. Mereka menganggap aku pemimpi ulung, peimajinasi yang tinggi, pemimpi. Kadang aku tak ingin bangun dari tidurku jika aku benar-benar pemimpi. Tekadku tetap bulat, cemoohan mereka adalah motivasi utama untukku. Semakin banyak mimpi buruk yang mereka buat untukku, tak akan pernah membuat semangatku padam. Akan ku kejar mimpiku sampai ketika aku terbangun dari tidurku, aku tetap nyata dan impianku harus benar-benar nyata.
Jangan sebut aku perempuan pemimpi jika aku tak dapat menyingkirkan mimpi buruk para perusak mimpi.
Pagi itu indah, udaranya pun masih segar untuk dihirup, tapi seakan terik semakin menyengat dan debu asing semakin merampas udara sejuk dipagi indahku ketika paman itu mengatakn kepadaku,
“lulus kuliah kamu mau kemana?”, Tanya Beliau.
“maunya sih kuliah,tapi liat nanti kalau ada rejeki,” ucapku.
Dengan nada yang begitu yakin beliau mengatakan.”kawin saja , daripada lulus kuliah nggak ada kerjaan, nanti juga perempuan itu ujung-ujungnya kawin” Sontak dadaku semakin sesak, sepertinya pagi ini semakin rusak udara yang aku hirup, sudah tidak ada lagi celah oksigen yang dapat aku serap. Bagaikan debu kotor semuanya. Sekuat hati dalam bonjengannya aku menjawab, “kalau bias aku mau kuliah, kan aku anak terakhir, setidaknya aku bias membayar mimpi-mimpi keluarga dan kedua kakak ku.”
Aku ingin lari sekencang-kencanagnya dalam situasi segeram itu. Ragaku semakin rapuh. Degup jantunngkyu semakin kencang, dank u remas sekencang-kencangnya dadaku yang semakin bergetar, sebelum akhirnya aku meneteskan air mata terperih yang aku rasakan.
Aku rasa Tuhan Maha Adil dan selamanya seumur hidupku tetap Yang Maha Adil, tak akan memberikan ujian melebihi batas kemampuan umatnya.
Jam 06.55 WIB, sampai di gerbang sekolah. Aku sampaika rasa terimakasih karena telah mengantarkanku sampai ke tujuan pencakar langit mimpiku, yaitu sekolah tercinta. Sesampainya disekolah, perasaan penat, marah, kesa, kecewa, dan termasuk dialog kami pagi tadi, aku anggap hilang semuanya, karena aku akan bertemu teman-teman tercintaku dikelas tercinta pula.
Kesedihan akan menjadi bahagia jika yang aku temui adalah mereka, canda dan tawa sudah berbaur jadi satu, namun sayang, seseorang telah merenggut candaku, dia adalah orang yang telah menyentuh kelembutan hatiku dan perlahan merusaknya, membuat sakit, dan menanamkan duri didalamnya sampai – sampai aku tak ingin lagi mengenalnya, jangan berbicara melihatnya saja aku sudah muak. Seketika aku anggap dia tidak ada, hilang dari muka bumi, dan tertelan laut raksasa. Tapia pa daya, kami memang satu kelas selama 2 tahun dan itu rasanya musibah terbesar dalam hidupku. Kecaman terberat dalam peperanganku. Namun disinilah ujian yang harus aku hadapi, aku berani memulai permaianan yang aku buat sendiri dan aku pula yang harus mengakhiri semuanya.
Lepas candaku seperti tak tau arah tak tau wadah, resah dan gelisah. Desi salah satu teman baikku untungnya selalu memberikan lelucon-lelucon yang spontan kepadaku.
“Mbot, akhirnya kamu dateng juga mbot, aku kira kamu nggak masuk, tumben dateng telat?”
Tanyanya.
Itulah dia, selau membuat pertanyaan yang lebih dan tak cukup satu pertanyaan, tetapi itu yang membuat dia beda. Sedikit kesal dengan julukan “Mbot” yang dia berikan kepadaku, karena sudah sangat jelas berat tubuh kami sama, alias sama-sama gemuk. “Haha,sudah kepalang konyol, apa mau dikata.”
Dengan nada penuh ketakutan dan kaki gemetaran, aku menjawab pertanyaan desi, “Aku dianterin sama orang des, tapi nggak langsung ke jalan biasanya, tapi diajak muter-muter dulu nyobain jalur yang lain, maksudnya mau cari jalan tikus yang cepet sampai, alhasil jalan tikusnya kejebat macet juga, tapi untungnya sampe juga.”
“Ohh, hha hha , kasian banget sih kamu, tapi enak dong nggak ngongkos?”
Pertanyaan bodoh muncul lagi dari mulut manisnya.”Nggak dong Des”,sontak ku jawab langusng.
Obrolan tetap berlangsung sampai pulang sekolah, seperti biasa setiap pelajaran sekolah, diantara kami berempat, temanku Icha dan Anes tak lepas dari makanan ringanya yang sudah dipersiapka di kolong meja. Sungguh membuat aku dan Desi iri dan lapar dibuatnya. Itulah trik mereka menempatkan kami berbadan gemuk di depan mereka seakan – akan pandangan guru teertutup pada mereka. Tanpa rasa marah kami ikhlaskan posisi kami, karena kami memang penuh dengan senda gurau. Sedikit suka terjadi cekcok tapi mudah menyatu kembali. Karena teman baik tak akan membiarkan permusuhan memenangkan keributan yang sering terjadi pada kami. Walaupun kami bukan sekelompok “Power Rangers dan sebagainya”, tapi kami lebih Hero dari mereka.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

IMPLEMENTASI PANCASILA DALAM BIDANG TEKNIK SIPIL

PENGARUH EKSENTRISITAS BEBAN TERHADAP DAYA DUKUNG PONDASI DANGKAL

ISD - Part 7